Syair Cinta Abraham LINCOLN

patung Abraham Lincoln

DI atas kursi itu, ia menatap lurus ke depan. Ia mengenakan jas yang panjang. Rambutnya disisir miring. Kedua tangannya diletakkan di pegangan kursi. Ia menampilkan ketenangan, kewibawaan, serta kharisma yang tiada tanding. Matanya yang tajam melambangkan visi yang kuat, sesuatu yang kemudian mengubah sejarah, memberi makna bagi zaman dan telah menggerakkan dinamika negeri itu.

Saya tidak sedang berbicara tentang sosok yang hidup. Saya sedang berbicara tentang patung putih Abraham Lincoln, sosok yang pernah hidup pada suatu masa, namun kemudian dikenang terus-menerus dalam setiap lembar buku sejarah Amerika Serikat (AS). Di sini, di Lincoln Memorial, yang terletak di Washington DC, Lincoln adalah ikon sejarah yang diabadikan. Ia dilestarikan demi memberi makna bagi generasi mendatang.

Lincoln Memorial adalah bangunan seperti Parthenon di Athena, Yunani. Bangunannya berupa pilar-pilar yang kemudian diatapi tembok. Di dalam bangunan itu, terdapat patung Lincoln, serta berbagai prasasti dinding yang diambil dari kutipan kalimat atau pidato yang pernah menggetarkan. Saya menaiki tangga-tangga bangunan itu, kemudian turun ke lantai dasar. Di sinilah saya menyaksikan beragam foto, kenangan, serta peristiwa penting terkait sosok Lincoln serta peresmian bangunan bersejarah itu. Saya juga melihat rekaman pidato Marthin Luther yang amat fenomenal “I have a dream.”

Di satu sisi, saya merasa sedang ada pemujaan yang berlebihan pada sosok ini. Namun, saya justru bertanya-tanya, mengapa sampai warga Amerika justru menempatkan Lincoln Memorial pada posisi penting, yang terletak di jantung kota Washington, dan terletak pada garis lurus dengan National Monument dan Capitol Hill? Mengapa tokoh ini diposisikan sebagai tokoh yang dicatat sebagai presiden paling hebat yang pernah dimiliki negeri itu? Apakah warisan Lincoln bagi bangsa Amerika?

Saya tidak sedang bercanda. Pada tahun 1982, sebanyak 49 orang sejarawan dan ilmuwan politik di AS diwawancarai oleh harian Chicago Tribune. Mereka diminta untuk menyusun rangking presiden paling berpengaruh di negeri itu berdasarkan lima kategori yakni kualitas kepemimpinan, manajemen krisis, kemampuan politik, kemampuan mengendalikan bawahan, dan karakter atau integritas. Posisi paling atas adalah Abraham Lincoln, yang kemudian disusul Franklin Roosevelt, George Washington, Theodore Roosevelt, Thomas Jefferson, Andrew Jackson, Woodrow Wilson, dan Harry Truman.




Pada tahun 2011, sejumlah lembaga politik di AS juga melakukan survei presiden terhebat. Hasilnya menempatkan Lincoln tetap pada posisi puncak presiden paling berpengaruh. Mengapa? Sebab Lincoln telah memberi makna baru tentang kemaerikaan itu sendiri. Ia menegakkan tiang demokrasi, menghapus perbudakan, serta berhasil mempersatukan Amerika pada saat yang paling sulit. Ia sukses menyatukan kekuatan utara dan selatan, kemudian menyatukan komitmen untuk bersama-sama menuju ke arah bangsa yang siap menggenggam dunia. Tanpa Lincoln, Amerika tidaklah sekuat sekarang.

Pada tahun 1861, Amerika di ambang perang saudara. Ketika Lincoln dengan amat berani mengemukakan visinya tentang penghapusan perbudakan, publik di daerah-daerah perkebunan kapas di selatan, langsung berontak. Perang saudara antara utara-selatan meletus dan menewaskan ratusan ribu orang.

Kita menyebutnya perbudakan. Kita memaki kebijakan itu di masa kini. Tapi di masa silam, perbudakan ibarat mesin yang menggerakkan perkebunan dan industrialisasi di Amerika. Di masa itu, perbudakan menjadi kejahatan yang amat tengik, namun –entah kenapa—dilihat sebagai satu-satunya kebenaran yang menjadi ruh zaman itu. Perbudakan kian menguatkan asumsi filosof Thomas Hobbes tentang karakter manusia sebagai serigala yang memangsa sesamanya (homo homini lupus).

Saya teringat artikel tentang betapa sedihnya orang-orang saat membaca kisah perbudakan itu dalam novel yang amat menyentuh berjudul Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe. Saya sendiri belum membaca novel hebat ini. Namun, saya pernah membaca tulisan bahwa novel tentang para budak ini telah memicu rasa bersalah terhadap bangsa kulit hitam, menggugah nurani semua orang, dan menyalakan jiwa pemberontakan demi menyatakan penghormatan pada kebebasan manusia. Novel ini ibarat api kecil yang kemudian meledakkan sumbu perang sipil (civil war) demi pembebasan budak.

Di sinilah peran Lincoln saat memenangkan peperangan, menyatukan bangsa, memberinya landasan cinta kasih serta penghargaan atas potensi manusia. Lewat sorot matanya, makna keamerikaan dikuatkan kembali. Lewat pidato-pidatonya, ia menegaskan warisan para peletak dasar negeri itu untuk membangun landasan kebebadan serta penghargaan pada manusia. Lincoln mewariskan satu hal yakni syair cinta kasih.


Rahasia Lincoln

Tak hanya kasih yang terpatri di tembok sejarah, Lincoln juga seorang komandan ulung yang punya pengalaman memenangkan Perang Sipil. Pada perang pertama di era revolusi industri ini, ia berhadapan dengan pasukan konfederasi dari selatan yang dipimpin oleh Jenderal Robert E Lee yang telah malang-melintang di berbagai peperangan. Ia justru tak sebanding. Mengapa ia bisa menang?

Saya menyimpan pertanyaan itu selama beberapa hari. Setelah menyaksikan film dokumenter America: The Story of Us, saya akhirnya menemukan jawabannya. Rahasia Lincoln terletak pada satu hal yakni jalan kereta api, infrastruktur, serta telegraf. Berkat tiga hal itu, ia menjadi mastermind yang mengendalikan peperangan dari ruang kecil di Gedung Putih. Ia mengontrol semua jenderal di lapangan termasuk Ulysess S Grant, mengatur pergerakan pasukan, dan mengendalikan informasi. Tampaknya, rahasia terbesar itu ada pada ketukan kode morse telegraf yang langsung dipancarkan dari ruang pribadinya. Lewat itu ia mengendalikan pasukandan menutup ruang gerak musuhnya.


Hari ini, saya kembali menatap patung Lincoln. Sayang sekali karena ia tewas pada 15 April 1865 saat sedang menyaksikan opera. Saya teringat artikel yang membandingkannya dengan Yesus Kristus. Sebab Lincoln telah mengorbankan dirinya demi visi yang terentang jauh, menyatukan bangsa-bangsa di belahan utara Amerika, menjadi great soul atau jiwa besar bangi bangsa itu.

Konon, semua pahlawan dalam mitologi Yunani kuno akan diabadikan oleh Dewa Zeus menjadi bintang di langit sana. Apakah Lincoln diabadikans sebagai bintang? Sepertinya tidak. Tapi di sini, di hadapan patung ini, saya sedang menyaksikan sosoknya yang diabadikan laksana dewa yang duduk di tengah bangunan berpilar itu dan menatap ke obelisk National Monument di kejauhan sana. Ia memang serupa dewa.(*)



Athens, 6 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar