Khomeini dan Kerinduan yang Bersarang


RATUSAN orang memenuhi aula gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Mereka merayakan beberapa tahun setelah wafatnya pemimpin besar Islam Ayatullah Ruhullah Khomeini pada 3 Juni 1989. Ratusan orang tersebut bersama-sama menghadiri seminar yang digelar oleh Iranian Corner Unhas, bekerjasama dengan Kedutaan Besar Iran. Sejumlah pematerinya berasal dari Iran, para intelektual yang cukup terpandang di negeri mullah itu.

Saya ikut menghadiri acara itu karena melihat ada banyak sahabat di situ. Saya sempat pula menghadiri sesi pertama diskusi dengan ulama Iran bernama Hujjatullah Mussadeq. Ulama ini sangat cerdas. Sebagai ketua Pusat Studi Islam di Jerman, ia dikenal pakar untuk studi tentang Yahudi serta filsafat. Saat memberikan materi, ia bercerita bahwa pada saat ini Islam tengah pasang naik di Eropa. Hampir setiap tahun, populasi pemeluk agama Islam meningkat dengan drastis. “Banyaknya mereka yang memeluk Islam itu adalah salah satu dampak dari pengaruh Ayatullah Khomeini dan revolusi Islam-nya. Mata dunia menjadi terbuka,” katanya.

Selama presentasi, saya terus mengamati sekeliling. Saya menyaksikan wajah-wajah yang penuh antusias. Mereka semua sama-sama terkesima ketika perjalanan hidup Khomeini dibentangkan. Kita memang jarang sekali mendengar cerita besar seperti Khomeini. Bagi saya, Khomeini adalah satu dari segelintir manusia abad 21 yang membuat perubahan melalui gagasan. Khomeini bersama tokoh-tokoh seperti Gandhi dan Mandela adalah manusia-manusia yang membalikkan hipotesis bahwa abad 21 adalah abad di mana kharisma seorang tokoh seolah lenyap tersaput angin. Mereka menunjukkan bahwa integritas dan karakter yang kuat adalah pijar utama untuk berada di barisan terdepan untuk menghela gerbong besar perubahan sosial.

Dan di kalangan umat Islam, Khomeini ibarat setetes embun yang membasahi dahaga akan hadirnya sosok yang menjaga pesan-pesan langit di muka bumi. Sosok yang menjadi jawaban atas kerinduan atas tatanan nilai yang lebih adil di masa depan. Dan di gedung PKP Unhas itu, saya menyaksikan kembali kerinduan orang-orang pada manusia besar seperti Khomeini.

Mungkinkah kita sebagai bangsa Indonesia merindukan sosok seperti Khomeini? Mungkinkah pula bangsa ini merindukan sosok bersahaja yang mendedikasikan hidupnya untuk jalan Tuhan, demi membangun bangsa ke arah yang lebih baik? Entahlah. Pertanyaan ini seyogyanya menohok setiap anak bangsa. Menjelang pemilihan presiden nanti, rasa-rasanya kita tidak menemukan satu sosok bersahaja yang mendedikasikan hidupnya untuk bangsa. Kita tak melihat seseorang yang berkarakter, memilih hidup miskin, dan bersedia membangun tatanan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Ataukah saya terlalu pesimis terhadap bangsa yang para politisinya sibuk “jual sapi” dan memperkaya diri hingga menimbun miliaran rupiah di kamar pribadinya? Anggaplah saya berlebihan. Namun, beranikah kita bertanya dengan jujur, apakah di negeri ini masih tersisa harapan? Saya kadang optimis pada titik ini. Namun tidak pada mereka yang ingin jadi penguasa hari ini.(*)


0 komentar:

Posting Komentar