Inspirasi Gandhi untuk Indonesia


GANDHI rajin membaca novel karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. Saya tak tahu novel apa yang dibaca pria tua dan renta ini. Tapi saya perkirakan Gandhi membaca novel paling dahsyat dan menggetarkan dari Tolstoy yang berjudul War and Peace. Novel ini ditulis pada tahun 1886 dan berkisah tentang kekaisaran Napoleon Bonaparte yang menginvasi Rusia –negara asal Tolstoy– dan mengguratkan kisah dan satire penuh sedu sedan tentang kata damai.

Apa yang membekas di hati pria tua renta bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi ini? Sebuah getar ataukah pencerahan (enlightment) yang turun dari langit dan memasuki kalbunya. Ataukah sebuah refleksi tentang begitu sulitnya dan begitu berdarah-darahnya menegakkan kata damai di tengah belantara keangkuhan manusia. Entahlah. Saya tak tahu.

Hari ini saya membaca liputan Kompas dengan judul Pelajaran Berharga dari Mumbai. Liputan ini mengisahkan kemajuan India yang pesat sebab ditopang oleh pilar penting ajaran Gandhi yakni Swadeshi. Swadesi berasal dari kata swa yang berarti sendiri dan desh yang berarti negara. Swadeshi diimplementasikan dalam bentuk menyinergikan potensi yang dimiliki untuk mencapai kemajuan. Selain potensi sumber daya alam, kekuatan lain yang dimiliki India adalah kemampuan mereka berinovasi.

Saya lalu teringat bacaan-bacan tentang Gandhi, termasuk ingatan pada film lama berjudul Gandhi dan diperankan aktor masyhur Inggris bernama Ben Kingsley. Film ini saya tonton di kampus UI usai diskusi tentang mereka yang mewarnai sejarah. Film ini begitu menggugah hingga kilasan gambarnya terus melintas-lintas di benak.

Saya tak pernah bisa melupakan adegan ketika Gandhi wafat hingga menggetarkan India pada 30 Januari 1948, dua tahun setelah ia memerdekakan negerinya. Nyaris seluruh penduduk India menyemut di jalanan demi melepas jenazah sang Mahatma –dalam bahasa Sansekerta, kata ini bermakna “Great Soul” atau Jiwa Agung—untuk dibakar dalam sebuah peristiwa kolosal yang terbesar di India. Baik tua dan muda, miskin atau kaya, semuanya berdiri rapi dan menangis sesunggukan dengan atau tanpa suara atas tewasnya pria yang cintanya pada India mengalir bak sungai deras.

Seorang reporter BBC London melaporkan peristiwa itu dengan begitu menyentuh. “Hari ini kita menyaksikan kesedihan yang didengungkan dengan lirih oleh jutaan warga India. Mereka sedang menangisi kematian seorang pria bernama Gandhi. Seorang pria tanpa kekayaan. Tanpa harta yang melekat di badannya. Tanpa jabatan dan kedudukan. Apalagi prestise. Seorang pria yang hanya punya sekeping hati. Namun sekeping hati itu telah mengharu-biru dunia. Sekeping hati itu telah mencairkan seluruh batas keangkuhan manusia. Sekeping hati yang mungkin lebih agung dari Yesus pada ratusan tahun silam.”

Bayangkan, “lebih besar dari Yesus!!!!” Saya tahu bahwa ini cuma sebuah bahasa hiperbolik. Tapi Gandhi telah menunjukkan pada dunia kalau manusia bisa mempunyai keluasan hati yang tak bertepi. Jika Yesus mengajari manusia akan cinta yang dahsyat namun Gandhi menjelajah lebih jauh lagi. Ia berhasil menunjukkan kalau cinta memiliki kedalaman dan keindahan estetik yang bisa mengejawantah menjadi sebuah gerakan sosial dan mengemansipasi masyarakat, sesuatu yang belum sempat dilakukan Yesus. Gandhi bisa membawa masyarakat pada pencerahan atau apa yang disebut Heidegger sebagai “membawanya dalam terang dan memisahnya dari gelap.”

Gandhi telah memporak-porandakan semua bangunan teori dari antropolog dan psikolog tentang watak manusia. Ia juga meruntuhkan teori modernitas dan kecenderungan anti mitos dan desakralisasi ketokohan. Ia menunjukkan pada dunia bahwa perlawanan tak mesti dengan cara konflik bersenjata atau cara dar der dor. Ia melakukannya dengan penuh cinta serta kemampuan membaca spirit bangsanya yang tengah dilanda kemiskinan dan keterbelakangan. Wajar saja jika dia menjadi pahlawan karena integritas serta komitmen yang luar biasa untuk bersama warganya yang miskin.

Di Afrika Selatan tahun 1896, di saat membaca Leo Tolstoy, Gandhi masih berprofesi sebagai pengacara muda yang berpakaian necis dan jas licin. Di dalam kereta itu, alumnus Fakultas Hukum di University of College ini membandingkan Tolstoy dengan cinta kasih Yesus. Gandhi bukanlah Kristen. Ia hanyalah seorang Hindu yang taat namun begitu mengidolakan Yesus. Ia telah menyerap inti dan baris terpenting dari agama dan kisah besar yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Usai membaca, ia merenung dan memanggil kondektur kereta api yang berkebangsaan Eropa. Ah, tak disangka, ia menjadi obyek dari fragmen menyedihkan tentang rasialisme. Ia diusir dan dihardik dari kereta hanya karena ia adalah seorang India dan tidak berkulit putih. “Saya seorang pengacara dan punya uang untuk membayar kelas eksekutif dari kereta ini,” teriaknya sambil menunjukkan tiket. Tapi kondektur kereta yang berkulit putih itu tak mau tahu. Ia menendang pantat Gandhi hingga jatuh dari stasiun dan kemudian melemparkan kopernya. Gandhi ingin berteriak dan melawan. Tapi ia ingat ajaran cinta dari Yesus yang dengan bijak berkata,”Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Ajaran cinta itu begitu membekas hingga ia tak peduli meski diusir bagai binatang ternak. Akhir tahun 1800-an adalah masa ketika rasialisme dan superioritas kulit putih menemukan momentumnya. Namun di Afrika, Gandhi menjadi pahlawan ketika mengorganisir ribuan buruh dan karyawan pabrik asal India untuk melakukan mogok massal sebagai bentuk protes atas diskriminasi. Gandhi melawan pasukan bersenjata dengan ribuan pengikutnya hanya dengan cara duduk tiarap di jalan raya dan pasrah meski dipukuli. Ia dipenjara namun tetap sabar dan terus mengingat Yesus. Tapi kepasrahan itu membawa dampak besar ketika seluruh bangsa Afrika langsung luluh hingga memenuhi semua tuntutannya.

Hingga kembali ke India, ia tak pernah surut mengobarkan api cinta itu. Saat itu, negerinya tengah dijajah Inggris. Penjajahan itu berlangsung dalam bentuk pencaplokan wilayah, penyiksaan fisik, serta pelestarian ketergantungan rakyat India pada seluruh produk Inggris. Tiap hari ada saja warga India yang mati baik karena penyiksaan maupun karena kelaparan berkepanjangan. Gandhi tersentuh. Ia lalu melepas jasnya dan berganti pakaian dengan hanya selembar kain. Di saat banyak pemimpin nasionalis berpakaian necis dan hidup mewah, ia justru memilih hidup miskin sebagaimana rakyat India.

Ia menjadikan kemiskinan sebagai sebuah pilihan. Ia memilih hidup asketis, miskin, dan tidak berdaya, demi mendekatkan diri pada bangsanya. Ia tak peduli meski dipenjara dengan berbagai tuduhan sepanjang itu dilakukan demi menghentikan aksi sewenang-wenang Inggris. Tubuhnya yang hitam dan renta hanya dibalut selembar kain putih. Badannya yang kurus terlihat jelas. Bicaranya tetap fasih dan menggetarkan warga yang selalu datang minta petunjuk. Lewat laku spiritual seperti itu, ia menjadi idola seluruh publik. Dalam kemiskinan itu, ia lalu menyusun strategi. Ia melihat betapa warga India begitu tergantung pada produk Inggris yaitu garam dan pakaian. Gandhi lalu mengorganisir seluruh warga untuk jalan kaki ke lautan. Di situ ia mengambil air laut dan mengolahnya menjadi garam. Ia menyerukan agar berhenti menggunakan produk Inggris.

Saya paling tersentuh adegan saat melihat Gandhi menggunakan alat penenun dan menenun kainnya sendiri. Jutaan warga India ikut menenun biar tidak memberi ruang bagi Inggris untuk melestarikan ketergantungan. Ia telah mengajarkan cinta sekaligus kemandirian pada kekuatan sendiri. Ia mengajari warga India untuk tidak menjadi barat dan tak malu, apalagi minder, pada identitas India. Ia tak bergeming dengan propaganda Inggris kalau India itu jorok, kumuh, dan rusak. Ia punya cinta dan lewat itu ia menghentikan seluruh kerusuhan. Bahkan, ia menghentikan kekejaman Inggris pada India hingga akhirnya India bisa merdeka. Di saat merdeka, ia menolak jabatan dan meminta pengikutnya yaitu Pandit Jawarharlal Nehru untuk menjadi pemimpin. Ia menolak jabatan dan memilih menjadi rakyat jelata yang hanya memakai selembar kain dan tidak pakai sandal. Semuanya dilakukan dengan cinta yang dimanifestasikan lewat puasa.

Bagi saya, Gandhi adalah monumen besar yang dipahat dalam sejarah peradaban manusia. Ia berhasil menjadi bentuk lain dari keunikan manusia di abad 21 yang kian materialistis dan mendewakan materi hingga mengincar kekayaan dengan berbagai cara. Ia juga menjadi prasasti dari cinta kasih yang mengejawantah dan sanggup membebaskan bangsanya. Lantas, apa yang tersisa dari Gandhi? Yang tersisa adalah India yang perkasa. Penguasaan atas teknologi informasi dan nuklir yang kian meninggi, perlahan menggeliat menjadi raksasa ekonomi hingga mengancam AS, serta sebuah negeri eksotik di mana warganya masih melestarikan meditasi, yoga. Lewat itu mereka memasuki gerbang modernisasi. Lantas, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Pulau Buton, 19 Februari 2009

0 komentar:

Posting Komentar