Parade, Merdeka, dan Senyum Gadis Manis


saat parade

DI tepi kedai kopi, di persimpangan Court Street itu, aku tak sengaja bertemu dengannya. Gadis berambut blonde itu mengenakan T-shirt yang bertuliskan protes atas beroperasinya pertambangan di Athens, Ohio. Nampaknya, ia baru saja selesai ikut parade yang merayakan kemerdekaan Amerika.

Di parade itu, aku melihat kemeriahan dan keriuhan yang memenuhi jalan-jalan. Semua orang bergembira dan menunjukkan ekspresi rasa syukur atas kemerdekaan Amerika Serikat (AS). Tapi ekspresi gadis itu datar-datar saja. Ia tidak hendak latah dengan berpakaian ala putri-putri yang di sepanjang jalan menebar senyum lalu membagikan permen. Ia malah memegang poster-poster sebagai tanda protes atas pertambangan dan pencemaran air di Ohio.

Gadis itu lalu mengambil tempat di sebelahku. Di kedai kopi bernama Whit's ini, kursi-kursi menghadap meja panjang yang duduk menghadap kaca. Siapapun yang duduk di situ, bisa menyaksikan kemeriahan di jalan sana. Aku suka duduk di kursi ini, sebab ada harapan yang merekah bahwa kelak akan ada seseorang yang duduk di sebelahku, lalu memulai pembicaraan. Lebih kusukai jika yang duduk di sebelahku adalah gadis semanis dia.

Ajaib! Ia tersenyum. Aku menyapanya dengan ramah. Ia juga balas menyapa. Maka mengalirlah perbincangan laksana anak sungai. Ternyata ia adalah mahasiswa teknik, yang lebih tertarik dengan dunia sosial. Ia mendedikasikan masa mudanya untuk segudang aktivitas sosial seperti bergabung di Habitat for Humanity atau organisasi sosial lainnya.

“Mengapa kamu tidak parade dengan baju putri?” tanyaku
“Justru saya muak dengan perayaan parade,” jawabnya.
“Mengapa?”
“Sebab parade menihilkan refleksi. Saya jadi tak paham apa makna kemerdekaan.”

Aku terdiam. Pada tanggal 4 Juli 1776, sebuah deklarasi pertanda kemerdekaan telah ditandatangani. Thomas Jefferson menulis kalimat yang amat bertenaga sebagai bentuk pernyataan sikap pada bangsa Inggris, yang mencaplok bangsa-bangsa atas nama Raja Inggris. Jefferson menulis dengan kalimat yang penuh api, “Semua manusia diciptakan sama. Mereka diciptakan oleh Sang Pencipta degan hak-hak yang sama. Hak itu adalah hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan upaya mengejar kebahagiaan (the pursuit of happiness).”

gadis cilik ikut parade
gadis-gadis berparade

Jefferson memang sedang menuding Inggris yang tentaranya bekerja atas suruhan raja, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di atas bumi. Ia menyuntikkan spirit baru, sebuah tafsiran atas religi, bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Bahwa semua manusia memiliki posisi yang sejajar dan mesti saling menyuburkan potensi masing-masing. Bahwa negara mesti melindungi semua orang.

Pernyataan kemerdekaan itu bukannya tidak mengandung risiko. Beberapa bulan setelahnya, Inggris mengirim armada ratusan kapal yang siap meluluhlantakkan New York. Namun, pasukan yang anggotanya adalah relawan berbagai bangsa, dan dipimpin si bangsawan pendiam George Washington, telah menunggu di sana. Ribuan nyawa terbang ke udara demi harga sebuah kemerdekaan.

Bahkan puluhan tahun setelahnya, ratusan nyawa juga melayang demi operasi militer sebuah bangsa yang disebut-sebut memiliki militer paling kuat sedunia. Orang-orang Amerika tak paham apa yang terjadi di luar sana. Mereka tak paham bahwa peperangan demi peperangan telah mengorbankan begitu banyak anak bangsa, demi menjaga marwah kemerdekaan itu.

Namun, tidak semua berpikir demikian. Terdapat sedikit orang yang masih memelihara tunas gagasan bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Setidaknya, aku pernah bertemu bapak tua yang mengusung kartun bertuliskan anti-perang, atau professor yang berdemonstrasi selama puluhan tahun demi menolak perang, atau sejumlah anak muda yang digarami oleh gagasan sosialisme lalu menyulut gerakan Occupy Ohio.

Mereka adalah anomali di negeri besar ini. Tapi mereka mengajarkanku bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah tujuan yang diertahankan dengan segala cara. Kemerdekaan adalah awal untuk memulai tatanan baru yang lebih berkeadilan, lebih manusiawi. Mungkin spirit inilah yang diwariskan Thomas Jefferson dengan kalimat sakti dalam Declaration of Independence-nya.

“Apa di negerimu juga ada perayaan kemerdekaan?” tanyanya.
“Yup,” jawabku singkat.
“Dengan cara apa? Apakah ada parade?”
“Iya. Ada banyak lomba,”
“Apa makna kemerdekaan buat kamu?”

Aku lalu merenung. Aku membayangkan perayaan 17 Agustus. Ada lomba panjat pinang, kembang api, lomba tarik tambang, hingga lomba makan krupuk. Aku juga membayangkan bahwa puluhan tahun setelah proklamasi, negeriku tetap saja terbelakang. Korupsi tumbuh bagai jamur. Ekonomi dikuasai oleh sejumlah keluarga. Politik hanya milik para pengusaha.

seorang professor yang sedang berdemo
dua profesor yang konsisten berdemo setiap minggu selama beberapa tahun

Aku membayangkan semangat membara di awal kemerdekaan. Aku sedih kala mengingat potret bangsa masa kini yang tengah bergulat dengan isu yang sama. Mungkin aku berposisi sama dengan gadis ini. Namun, ia berada di sebuah negeri yang hari ini telah menjadi negeri paling besar, paling digdaya.

Sepakat atau tidak, Amerika telah mentransformasikan spirit pemberontakan di abad silam sebagai suntikan motivasi yang melambungkan energi manusia di zaman kini. Anak cucu para pendatang itu telah menjadi bangsa yang kemudian menulis ulang sejarah dunia dengan penjelajahan mereka ke lintas benua.

Sementara negeriku masih meniti di garis yang sama dengan saat kemerdekaan. Negeriku masih berkutat dengan apa yang disebut Gandhi sebagai tujuh dosa sosial yakni (1) kekayaan tanpa usaha, (2) kenikmatan tanpa nurani, (3) pengetahuan tanpa karakter, (4) bisnis tanpa moralitas, (5) ilmu tanpa kemanusiaan, (6) agama tanpa pengorbanan, (7) politik tanpa prinsip.

“Hey. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa makna kemerdekaan di negaramu?” tanyanya dengan senyum termanis yang pernah kulihat.



Athens, Ohio, 4 Juli 2012
Usai menyaksikan parade kemerdekaan Amerika


0 komentar:

Posting Komentar