Sakura, Puisi, dan Makna yang Menikam

Sakura di Washington DC
(foto: Ussama Kaewpradap)


SAKURA bermekaran di Washington DC. Dua minggu lalu, saya berkunjung ke ibukota Amerika Serikat (AS) itu dan menyaksikan langsung sekitar tiga ribu pohon sakura memenuhi lapangan dekat Washington Monument. Sementara di kota kecil Athens, sakura juga memenuhi pesisir kampus dengan pemandangan yang spektakuler. Orang-orang melihatnya sebagai pembawa kegembiraan di musim semi. Tidak dengan saya. 

Melihat sakura itu, saya membayangkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Saya membayangkan pilot-pilot kamikaze bangsa Jepang yang menarungkan nyawa di Perang Dunia kedua. Saya membayangkan saat-saat Amerika meluluhlantakkan negeri Jepang, tempat asal sakura. Apakah mekarnya ribuan sakra itu menjadi awal dari era baru yang merupakan penetrasi budaya bangsa Jepang di Amerika? 

Hampir setiap tahun, bangsa Amerika menanti-nanti mekarnya sakura. Lain negeri, lain budayanya. Jika di Jepang, ada tradisi duduk piknik di bawah pohon sakura, yang disebut HANAMI (flower viewing), maka di Amerika, tradisi yang muncul adalah festival khusus untuk merayakan mekarnya sakura tersebut. Namanya adalah Cherry Blossom Festival. 

Dalam bahasa Inggris, sakura memang disebut “Japanese Flowering Cherry.” Di ajang Cherry Blossom Festival, orang-orang Amerika akan datang ke sekitar pohon lalu berpose, kemudian bergembira bersama. Mereka juga menggelar karnaval dengan pakaian adat Jepang di jalan-jalan kota Washington, khususnya di sekitar Pennsylvania Street.

Saya teringat catatan bahwa awalnya sakura ini tiba di Amerika Serikat pada tahun 1912. Saat itu, pemerintah Jepang mengirimkan sakura sebagai tanda diplomsi demi mempererat hubungan kedua negara. Pemerintah Amerika lalu menanamnya di Sakura Park yang terletak di tengah kota, serta di pinggir Tidal Basin, tak jauh dari Jefferson Memorial. Mulanya hanyalah Washington, selanjutnya, sakura itu ditanam ke banyak negara bagian seperti Los Angeles, Philadelphia, New Jersey, Georgia, dan Seattle. Niat awalnya adalah persahabatan. Apalagi, sakura berwarna putih bersih yang mungkin menjadi simbol kesucian hati atau ketenangan jiwa. 

sakura di dekat Lincoln Memorial
sakura 2
sakura 3
pengumuman festival

Namun, sejarah mencatat lain. Amerika dan Jepang lalu menjadi seteru dalam perang dunia kedua. Saya bertanya-tanya, apakah pada masa peperangan itu sakura berubah warna menjadi merah darah? Entahlah. Tapi beberapa sahabat asal Jepang mungkin bersepakat dengan itu. Di antaranya adalah teman sekelas yang namanya Koyuki (sebut saja demikian). Ketika diminta presentasi tentang perbandingan persepsi antara orang Jepang dan Amerika, ia mengejutkan sesisi kelas ketika menampilkan bagaimana iklan menjelang perang dunia kedua. Amerika menampilkan iklan prajurit bule yang gagah dan mengajak semua orang menjadi tentara. Sementara di Jepang sana, potret tentara Amerika adalah serupa mahluk mengerikan yang hendak mencabut nyawa.  

Memang, perang telah lama berlalu. Tapi jejak-jejaknya masih saja terlihat. Bahkan pada generasi yang lebih muda, yang justru tidak banyak tahu apa yang terjadi, perang masih menyisakan trauma dan nestapa. Tapi ribuan sakura putih di Washington DC itu menghadirkan banyak simbol yang terbuka untuk diinterpretasi. 

Bagi orang Jepang, kecantikan sakura memiliki makna spiritual dan filosofis. Bunga itu adalah simbol kegembiraan dan kesedihan yang datang silh berganti. Kehidupan adalah panggung yang selalu menghadirkan dua sisi yakni sedih dan gembira. Kehidupan juga memiliki pasangan lain yakni kematian. Sakura memiliki dua makna yang saling bersisian, juga melengkapi, laksana simbolisme Tao bagi orang Cina. 

Washington Monument
berpose di bawah sakura
seorang gadis berpose di bawah Sakura

Tanpa kesedihan, kita tak pernah memaknai kebahagiaan. Tanpa nestapa, kita tak akan pernah memahami betapa indahnya keriangan. Ada sedih, ada gembira, ada mati, ada kehidupan, ada musim gugur ketika semua pohon meranggas, ada pula musim semi ketika semua pohon berwarna putih semerbak. Betapa indahnya hidup jika semua pihak bisa saling menerima dua sisi kehidupan tersebut. 

Sakura-sakura yang mekar hanya dalam beberapa hari di musim semi itu juga hendak menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki sisi-sisi yang putih, sisi-sisi yang paling indah, sisi-sisi yang paling menakjubkan. Lewat sisi yang paling indah itulah, manusia bisa menjaga harmoni semesta, manusia bisa saling melengkapi laksana dua kepimg puzzle. Dan kehidupan akan menjadi panggung kebajikan ketika semua manusia bisa saling belajar dan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua ikut larut dalam tarian semesta.

Minggu lalu, saya berjalan di dekat pohon-pohon sakura yang tumbuh di dekat kampus Ohio University di kampung Athens. Menurut informasi, sakura-sakura itu adalah hadiah dari pihak Chubu University yang menjalin kerjasama dengan Ohio. Sakura itu menjadi simbol persahabatan. Meskipun saya lebih melihatnya sebagai puisi indah yang menikam melalui makna lain tentang penetrasi diam-diam yang dilakukan bangsa Jepang atas Amerika. Bangsa Jepang menyebar sakura, lalu mendatangkan lifestyle ala harajuku, dan bersama Cina, lalu secara perlahan mencengkram Amerika. 

Inilah perang abad modern. Dahulu anda datang dengan membawa bom atom dan ribuan nyawa melayang, tapi hari ini kami datang dengan sakura sebagai simbol persahabatan, yang kelak akan tumbuh membesar, menyebar, lalu akar-akarnya akan meruntuhkan tembok kekarmu! 






1 komentar:

ririn mengatakan...

as usual, Pak, Yusran, you definitely have the ability of eagle eyes in seeing something behind the phenomenon... ^^

Posting Komentar