Perahu Kertas yang Mengalir di Sungai Cinta Kasih

novel Perahu Kertas

HARI ini saya melihat trailer film Perahu Kertas yang diangkat dari novel laris Dewi Lestari dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Menurut informasi, film ini akan ditayangkan saat Lebaran nanti. Melihat trailer film ini, hati saya langsung berdesir karena mengingat episode hidup saat mencari novel ini, sensasi saat membacanya, hingga kenangan-kenangan terkait novel ini. 

Sayang sekali karena saya tidak sedang berada di tanah air. Padahal saya ingin tahu apakah filmnya mendatangkan impresi yang sama dengan novelnya. Meskipun tak bisa menyaksikannya, saya merasa cukup beruntung karena Alden Library memliki koleksi novel ini. Hari ini, saya sengaja meminjam novel ini dan membaca ulang, demi mengetahui apakah sensasinya masih sama ketika membacanya di tahun 2009. 

Hasilnya? Dahsyat! Saya serasa terlontar kembali ke masa-masa ketika menemukan novel ini di toko buku, serta terkejut saat membuka lembar pertamanya. Niat awal adalah memberikan kejutan buat pacar yang memang menggemari novel karya Dewi. Namun kejutan yang saya siapkan itu kian bertambah saat saya menemukan nama dan komentar sang pacar di halaman awal. 

istri saya bersama Dewi Lestari di Jakarta
nama dan komentar istri saya (Dwi) di halaman awal novel ini

Saya ingat, beberapa bulan sebelum novel itu diluncurkan, sang pengarang meminta semua orang untuk mengirim komentar. Pacar saya ikut-ikutan mengirim komentar. Sepuluh komentar terpilih akan dimuat di buku itu. Ternyata, satu di antaranya adalah komentar kekasih saya itu. Maka berlipat-lipatlah kejutan yang saya siapkan saat itu. Kejutan akan buku, serta kejutan akan nama serta komentar. Tapi kejutan terbesar adalah pengalaman mengikuti alur pikir dan sungai gagasan sang pengarangnya. 

Kejutan lain terkait novel ini adalah di tahun 2010, saya berhasil mempertemukan istri (saat itu kami sudah nikah) dengan sang pengarang. Saat itu, kami domisili di Jakarta. Istri saya mulai hamil dan suka minta yang macam-macam. Salah satu keinginannya adalah bertemu Dewi. Untunglah, saya bisa mempertemukan mereka sehingga sempat ngobol-ngobrol dan berpose bersama. Bukankah kebahagiaan seorang pembaca adalah ketika bisa bertemu sang pengarang yang diidolakan? 

Sayangnya, saya gagal bertemu penulis idola yakni Pramoedya Ananta Toer. Ia sudah keburu meninggal di saat saya ingin menyapanya. 

Terus terang, saya membaca hampir semua novel karya Dewi. Mulai dari Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Selanjutnya saya membaca Supernova: Akar, Supernova: Petir. Setelah itu, saya membaca kumpulan cerpennya Filosofi Kopi, salah satu kumpulan cerpen terbaik yang saya tempatkan sejajar dengan cerpen sastrawan idola saya; Seno Gumira Adjidarma. 

Saya tidak sempat membaca Madre, novel terakhir yang saya beli menjelang berangkat ke Ohio. Tapi saya bahagia karena novel itu menjadi kado indah buat istri yang tengah menanti saat-saat melahirkan bayi mungil kami. Dua hari lalu, istri mengirimkan fotonya saat bersama bayi mungil Ara membeli nove terbaru Dewi yakni Partikel. Istri saya mendidik bayi kami agar sedini mungkin menyukai sastra. Mungkin dia butuh sahabat untuk diskusi banyak tentang novel. 

saat Dwi dan Ara membeli novel terbaru Dewi berjudul Partikel

Beberapa novel Dewi Lestari yang saya sebutkan di atas memang agak filosofis. Maknanya dalam dan butuh pengetahuan tersendiri untuk sampai ke langit-langit gagasan tersebut. Tapi novel Perahu Kertas amat beda dengan semuanya. Perahu Kertas menekankan kesederhanaan bahasa, serta situasi di mana sang tokoh bermain-main dengan perasaan sendiri hingga akhirnya menemukan sungai untuk mengalirkan perasaan tersebut. 

Novel Perahu Kertas ini ibarat senandung yang menghangatkan ingatan atas sesuatu. Saya masih ingat saat pertama mencari novel ini. Istri saya adalah penggemar berat semua karya Dewi Lestari. Ia menggemari kalimat-kalimat Dewi yang manis, renyah, dan membawa perasaan terhanyut. Kalimatnya tidak norak, malah sederhana. Tapi entah kenapa, kesedehanaan itu menjadi satu kekuatan yang menggerakkan hingga menjebol benteng hati. 

Setiap kali membaca tulisan Dewi, saya disadarkan bahwa kita tak perlu kutipan-kutipan hebat atau istilah-istilah asing untuk menghanyutkan seseorang. Kita cukup memilih kalimat sederhana dengan makna yang dalam, namun punya power untuk meleburkan bendungan perasaan yang disimpan rapat-rapat. Membaca kalimat yang dihasilkan Dewi ibarat mengikuti petualangan mengarungi samudera hidup yang penuh onak dan duri, namun menyimpan kejutan-kejutan berkelok yang membahagiakan. 

Sensasinya bukan terletak pada akhir yang bahagia, sebagaimana hadir dalam novel Perahu Kertas, namun terletak pada seberapa jauh sang tokoh bermain-main dengan perasaannya, mengatasi dilema hati, hingga akhirnya jalan terang akan menuntun sang tokoh ke dermaga bernama pelabuhan hati. Menjelang akhir novel ini, saya seolah tak rela. Saya tak mengikhlaskan novel ini berakhir karena perasaan yang sedemikian renyah saat menikmati rasa bahasanya. 

adegan dalam film
perahu kertas yang membawa cinta ke Poseidon

Nikmat membaca kalimat yang ditulis Dewi adalah senikmat menikmati es krim Magnum. Menikmatinya harus dengan cara dijilati perlahan-lahan agar nikmatnya tetap terjaga. Jelang akhir, biasanya kenikmatannya akan semakin berlipat sebab bahagian akhir adalah klimaks dari keseluruhan bangunan cerita. Kita akan mendapati situasi ketika semua rangkaian patahan kejadian bertemu di satu titik, dan senantiasa ada kejutan di situ. Kita terhenyak. Namun tiba-tiba tersadar akan cinta yang mengembun di hati masing-masing tokoh.

Pada akhirnya, saya berharap agar filmnya bisa senikmat membaca fiksinya. Saya penasaran siapa yang memerankan Kugy, gadis ceria dan tomboy yang terobsesi sebagai penulis dongeng (persis sebagaimana istri saya), serta sang tokoh Keenan, cowok yang suka melukis tokoh dongeng (sayang, saya bukan pelukis, tapi setidaknya saya seorang pelukis kata. Hehe). Dahulu, saya berdebat dengan istri tentang siapa yang cocok memerankannya. Saat itu, saya menyebutkan dua nama yakni Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Ternyata, mereka kian uzur sehingga mulai tidak cocok memerankan sosok dua anak muda yang mencari jalan untuk cinta. 


teaser film Perahu Kertas. Silakan di-klik


Hari ini, saya menyaksikan trailer film itu. Terakhir, Dewi Lestari biang kalau dirinya sedang focus untuk menyusun scenario dan mencari sosok pemeran film itu. Saya amat yakin kalau fimnya akan seindah novelnya. Saya yakin kalau film ini akan menjadi sungai yang mengalirkan semua perasaan hati yang dikemas dalam perahu kertas, membawanya menemui Poseidon sang raja laut. Bukankah cinta selalu butuh sungai hati untuk mengalir? 



0 komentar:

Posting Komentar