Orang Hitam Dilarang Hidup!

salah satu sekolah untuk warga kulit hitam di Washongton DC tahun 1942

DI kelas filsafat, saya membaca buku Critical Thinking yang ditulis Prof Bell Hooks. Saya terkejut saat mendapati kenyataan tentang rasisme dan segregasi sosial yang hingga kini melanda bangsa Amerika. Di sini, di negeri yang mengklaim dirinya penganjur dan penyebar nilai-nilai demokrasi di seluruh dunia, warga kulit hitam sering menjadi warga kelas dua. Itu masih terjadi, bahkan di era ketika Presiden Amerika Serikat adalah seorang kulit hitam! 

Sejarah Amerika adalah sejarah perebutan hak-hak hidup. Dahulu, para pendatang memenuhi tanah ini dengan harapan menemukan ruang untuk kebebasan dari kungkungan sistem, baik itu politik, agama, ataupun sosial. Mereka mendamba kebebasan dan keluwesan dalam menjalankan apa yang diinginkannya. Ketika Inggris datang dan mencaplok wilayah itu, mereka berontak dan berperang demi harga diri dan kebebasan. Mereka mengobarkan revolusi hingga mencapai gerbang kemerdekaan. 

Selanjutnya para kapitalis datang dan membuka perkebunan kapas, yang masa itu disebut white gold. Lalu, mereka menyerbu California ketika ditemukan berton-ton emas di situ. Perkampungan tumbuh. Kapitalisme dan industrialisasi kian bermekaran. Sehingga para kapitalis sombong itu lalu membutuhkan para budak yang didatangkan dari Afrika. Maka dimulai episode yang menikam ide-ide demokrasi dan kemanusiaan. Sebab apa yang disebut kemanusiaan itu adalah harkat dan derajat bangsa kulit putih. 

Ini tahun 2012. Tapi entah kenapa, bel sejarah masih saja berdentang sebagaimana puluhan tahun silam. Membaca ulasan Bell Hooks, saya serasa dihadapkan kembali dengan keping-keping kenyataan yang dahulu dihadapi bangsa ini dalam proses pencarian identitas. Apalagi, tiga minggu lalu, saya membaca artikel tentang adanya larangan bagi sejumlah warga kulit hitam untuk belajar di beberapa sekolah publik di kawasan Arizona, Amerika. Kata sahabatku Ercik, di beberapa negara bagian, khususnya daerah selatan, rasialisme itu masih hidup. Orang-orang hitam itu dilarang bersekolah, dilarang ke dokter, selalu identic dengan kriminalitas serta hal-hal yang negatif. 

Angela Tucker saat mempresentasikan dokumenter
tentang bangsa kulit hitam di AS (foto: Rashmi Sharma)

Kata Bell Hooks, problemnya terletak pada representasi orang hitam dalam media dan persepsi publik. Sekian tahun Amerika menjadi negara demokratis, orang hitam masih saja dipandang dengan tatap negatif. Pada titik ini kita bisa membahas bagaimana bingkai (framing) media massa, bagaimana film Hollywood mempengaruhi citra, bagaimana isi kepala kita diatur oleh sesuatu di luar diri kita. 

Bulan lalu, sat ke Washington DC, saya menyaksikan presentase Angela Tucker, seorang pejuang kulit hitam abad modern. Ia melakukan resistensi (perlawanan) terhadap semua stereotype tentang orang hitam. Ia membuat seri dokumenter yang bertemakan Black Folk Don’t. Isinya adalah suara bangsa kulit hitam di Amerika, yang memaparkan apa yang dialami, stereotype serta pengalaman yang tidak enak ketika berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan. Angela membuka lapis-lapis kenyataan yang selama ini tertutup dari kita yang tinggal jauh dari negeri ini. Kerja-kerja Angela bisa dilihat DI SINI. 

Di tahun 2012 ini, saya tiba-tiba saja teringat relevansi pidato seorang hitam yang kemudian menggemparkan Amerika. Saya teringat Martin Luther King Jr. Saat berkunjung ke Lincoln Memorial, saya sengaja berfoto di tempat dirinya berpidato yang kemudian menyihir dunia. Pidato itu masih saja relevan sebab rasisme pada bangsa hitam adalah produk sejarah yang di masa kini dimapankan oleh insitusi seperti perfilman Hollywood. 

saat Martin Luther Jr berpidato tentang "I Have a Dream" di Lincoln Memorial, tahun 1963
saya berpose di tempat Martin Luther King Jr berpidato "I Have a Dream", tahun 2012


Martin Luther masih saja menyihir dengan kalimat yang penuh api menyala-nyala. Kalimatnya masih saja bertenaga pada periode puluhan tahun setelah dirinya mengeluarkan kalimat yang menggetarkan itu. Perhatikan beberapa kalimat dalam pidatonya di sini: 

But one hundred years later, we must face the tragic fact that the Negro is still not free. One hundred years later, the life of the Negro is still sadly crippled by the manacles of segregation and the chains of discrimination. One hundred years later, the Negro lives on a lonely island of poverty in the midst of a vast ocean of material prosperity. One hundred years later, the Negro is still languishing in the corners of American society and finds himself an exile in his own land. So we have come here today to dramatize an appalling condition.  
I have a dream that my four children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character. 

Membaca Bell Hooks seakan membaca ulang nasib yang dialami bangsa Amerika. Waktu memang sering nisbi dan relatif. Seringkali, apa yang terjadi di masa silam, masih saja terjadi di masa kini. Kita serba ketakutan. Kita serba khawatir bahwa kelak masa silam menjadi masa kini. Sebab kita tak pernah belajar dari sejarah. Kita mengulangi kebodohan sama di masa silam. Mungkin, kita mesti banyak belajar pada sejarah bangsa Amerika, yang di masa kini, sebagaimana kata Angela Tucker, masih saja berkata, “Orang hitam dilarang hidup!”


Athens, Ohio, 29 Februari 2012