Desa, Ketenangan, dan Keledai Pemalu

suasana pedesaan

SETIAP desa selalu menyimpan magma. Bukan saja karena adanya semangat yang membara untuk menjaga hubungan-hubungan sosial agar tidak punah, namun juga ketenangan yang menghanyutkan kala bertemu keluarga, para sahabat, relasi, ataupun relasi. Tak hanya di Indonesia, bahkan di Amerika pun, desa menghadirkan ketenangan. Saya bisa merasakan ketenangan dan suasana yang sukar terlukis oleh kata tersebut. 

Di beberapa desa, suasananya amat jauh dari bising. Penduduknya senang menyapa dan semua orang saling mengenal pada radius tertentu. Saat berkunjung ke desa kecil dekat Buckeye Lake, Ohio, saya serasa pulang kampung. Hanya saja, desa-desa di sini tak banyak berpenghuni. Warganya memilih suasana privat. Rumah berjauhan. Mungkin mereka butuh ketenangan. Entah. 

depan rambu kereta kuda
sudut desa
dekat danau

Desa yang saya lewati ini adalah desa yang berdekatan dengan komunitas Amish. Komunitas ini hamper sama dengan suku Baduy di Indonesia. Mereka menolak penggunaan teknologi dan hidup seolah di abad pertengahan. Baik itu pakaian, maupun rumah maupun pergaulan. Mereka juga menghindari penggunaan listrik. Inilah sebab, mengapa di desa-desa ini, saya melihat banyak rambu lalu lintas bergambar kereta kuda. Sebab warga Amish menolak penggunaan mobil. Mereka memakai sarana kereta kuda. 

Saya menikmati suasana di beberapa desa di sini. Saya juga singgah satu peternakan biri-biri. Pertamakalinya pula saya melihat hewan aneh bernama Lama. Hewan ini mirip dengan jenis hewan yang saya saksikan di film Avatar. Kata seorang teman, dalam satu peternakan, Lama berfungsi sebagai penjaga atau penggiring biri-biri menuju ke satu tempat. Apakah Lama berbahaya? Tidak. Hanya saja, Lama bisa menggiring dan sesekali mengancam. Tapi tidak menyakiti.

keedai pemalu, kok mirip boneka ya?
dua Lama sedang menjaga biri-biri
bergaya

Saya menyukai hewan ini. Saat saya hendak mendekat dan memotret, hewan ini tak menunjukkan takut sedikitpun. Ia malah berdiri dan menatap kea rah saya, sehingga proses pemotretan berjalan lancar. Lama itu sedang menjagai biri-biri dan seekor keledai. Sempat kaget juga melihat keledai yang bentuknya lucu, serupa boneka kecil. Saat saya mendekat, keledai itu lalu kabur bersama biri-biri. Nampaknya, keledai itu amat pemalu, sebagaimana saya. 

Saya menikmati ketenangan di desa. Mungkin, desa yang saya saksikan ini sangat berbeda dengan desa-desa di Buton, ataupun Buton Utara, namun saya bisa merasakan ketenangan dan suasana yang mengalir. Pada akhirnya, kita, manusia modern, selalu membutuhkan ketenangan yang menderas bak anak sungai. Kita rindu dengan kedamaian yang serupa embun menetes di sela-sela dedaunan. Kita rindu spiritualitas, yang kita temukan di desa-desa, saat semua orang saling menyapa di tengah udara besih, tanpa ada asap dan bising kendaraan.

Mungkin kelak saya akan menghabiskan hari di desa bersama anak dan cucu. Mungkin kelak saya akan duduk di teras atau beranda rumah, menyapa semua orang, menghadiri semua acara kampung, sesekali ikut sabung ayam, dan di malam hari duduk di dekat danau dekat rumah sambil menulis puisi. Bagi saya, definisi bahagia itu sederhana. Bukannya saat duduk manis di satu gedung mewah di kota. Namun saat duduk sore hari di depan rumah, sambil minum teh dan ada sepiring gorengan, bersama istri dan anak yang terus mengoceh. Sayup-sayup, terdengar suara parau Louis Amstrong saat menyanyi, What's a wonderful world...!!


Athens, Ohio, 22 Februari 2012