Washington DC: Kota yang Muram

Washington Monument

KISAH sebuah kota bukan sekadar kisah tentang keperkasaan dan kejayaan. Kisah sebuah kota adalah kisah tentang manusia-manusia yang saling berdinamika dan mencari keseimbangan. Di situ terdapat manusia-manusia yang saling bersaing dan berebut ruang dalam kota. Bahkan pada ibukota sebuah negeri digdaya seperti Amerika Serikat (AS).

Seminggu silam, saya berkunjung ke Washington DC bersama para sahabat yakni Eka, Eli, Yuyun, Rashmi, dan Iqra. Kami memasuki kota ini setelah sebelumnya berkendara dengan menggunakan bus Greyhound dari Pittsburgh dan Colombus. Kami sama-sama belum pernah berkunjung ke kota ini. Kami sama-sama diikat oleh hasrat petualangan serta penjelajahan di jantung negeri Paman Sam ini. Berbekal secarik peta yang di-print lewat internet, kami berkelana dan menelusuri jalan-jalan kota ini.

Tentu saja, kami tidak ingin berfokus pada keindahan dan keanggunan yang nampak. Kami ingin menembus jantung kota ini, melihat denyut nadi dan aliran darah, serta menyaksikan langsung bagaimana sel-sel yang ibarat keping telah menyusun bangunan kota ini. Kami bertualang dengan dana pas-pasan demi melihat langsung sisi lain sebuah kota, yang selama ini tidak terungkap ke publik, namun eksis sebagai bagian dari sejarah masa kini.

Kami memasuki kota ini di tengah gerimis. Kami singgah beristirahat di stasiun Amtrax. Saat itu, seorang pria datang mengajakku berbincang. Ia sok akrab. Saya menjawab sekenanya. Ia memakai pakaian lusuh serta memegang sebuah buntalan plastik berisikan pakaian. Nampaknya, ia bersama beberapa temannya tidak punya tempat tinggal. Di Amerika, mereka disebut homeless yakni mereka yang menggelandnag di jalan-jalan. Pertemuan dengan pria ini menjadi awal bagiku untuk melihat langsung sesuatu yang tidak banyak terungkap ke mata publik. Inikah wajah Amerika Serikat?

white house, kediaman Presiden AS
saat di kereta bawah tanah atau subway
old post office bulding

Jalan-jalan kota ini tidak begitu lebar. Gedung-gedung juga tidak seberapa tinggi. Jantung kota ini adalah gedung Capitol Hill yang menjadi simbol politik AS. Aku melihat kubah yang berbentuk bulat, serupa kubah masjid, atau serupa pula dengan kubah Synagog kaum Yahudi. Di puncak kubah itu terdapat patung perempuan sebagai lambing kebebasan. Pematung Thomas Crawford, seorang pencinta wanita yang rela dibakar oleh rasa kecintaannya, meletakkan patung itu sebagai wakil dari kebebasan yang meluap-luap. Apakah wanita identik dengan kebebasan?

Di hadapan gedung itu, terbentang luas sebuah padang rumput luas yang menuju ke sebuah monument bernama Washington Monument. Monumen ini berbentuk obelisk, yang merupakan anak kandung kebudayaan Mesir. Beberapa teman Indonesia menyebutnya monas, sebab bentuknya serupa Monas yang berupa tiang tegak yang menjulang tinggi. Tapi gak mungkin jika bangunan ini meniru Monas. Sebab bangunan ini berdiri sejak tahun 1840 yang bertujuan untuk mengenang nama George Washington sebagai bapak republik dan pendiri negara (founding father) Amerika Serikat. Pertanyaan yang menggelayut dibenakku, mengapa harus berbentuk obelisk? Mengapa tidak mengambil bentuk yang digali dari ranah kebudayaan Amerika sendiri? Bukankah bangunan-bangunan suku Maya cukup perkasa untuk menjadi inspirasi bagi pembuatan monument?

depan Lincoln statue
Takjub melihat itu, saya lalu menyusuri padang rumput dengan kolam di tengahnya. Menurut petunjuk yang tertera di sekitar, kolam itu bernama Reflective Pond. Kolam ini berbentuk bujur sangkar dan menghubungan tugu obelisk itu dengan bangunan bsar bernama Lincoln Memorial. Bersama teman-teman, saya bergerak menuju Lincoln Memorial dan menyaksikan patung Abraham Lincoln.

Saya membayangkan bahwa di sorot mata pria ini terhampar kasih sayang pada bangsa kulit hitam hingga menjadikan dirinya sebagai martir pada tahun 1865. Ingin rasanya kutembus sorot mata itu dan mengurai sejarah perbudakan bangsa AS, sejak kedatangan imigran Inggris hingga datangnya kapal May Flower yang membawa kaum berkulit hitam dari Afrika. Betapa besar hasratku untuk menelusuri jejak perbudakan yang kemudian dihapus dengan berdarah-darah oleh Lincoln, Presiden AS terbesar sepanjang masa yang tumbuh dalam balutan kemiskinan di Kentucky dan Indiana di tahun 1818.

Terdapat banyak bangunan di Washington DC yang bertujuan untuk melestarikan ingatan atas sosok presiden. Tak hanya Lincoln Memorial, ada pula Thomas Jefferson, Kennedy, hingga Benjamin Franklin. Para presiden tersebut dibuatkan memorial sehingga pemikiran mereka tetap abadi dalam sejarah. Dalam beberapa literatur yang kubaca, setiap pendirian patung, monument, maupun bangunan raksasa tak pernah bisa dilepaskan dari bekerjanya politik ingatan. Setiap bangsa akan mendirikan monumen demi melestarikan ingatan tertentu atas atas satu sosok, satu kejadian, satu tempat, atau satu kepingan kenyataan melalui bangunan-bangunan.

Kita bisa saja mengatakan bahwa para presiden tersebut diposisikan serupa para rahib yang ajarannya diabadikan dalam kitab, sosoknya diabadikan dalam arca, dan diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi sesudahnya. Kita juga bisa menelaah bahwa sejarah bangsa Amerika dimulai dari periode ketika para presiden hadir. Sebelum itu, sejarah mereka tidak punya satu catatan penting atau tidak terdapat satu peristiwa yang bisa memberikan inspirasi bagi bangsa Amerika. Yup. Inilah dinamika atau politisasi sejarah. Maafkan karena diri saya belum sanggup mengeksplorasi gagasan ini ebih jauh. Setahuku Eric Wolf, penulis buku Europe and the People Without History yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini.

Occupy Washington

pengemis yang tinggal di sela-sela bangunan
tenda kaum miskin dalam gerakan Occupy Washington
bersama dua kaum miskin yang menanti jatah makan
tenda-tenda aksi yang juga ditinggali
saat saya di salah satu tenda

Kota ini menyimpan banyak symbol kejayaan dan kehebatan. Apakah semua pemandangan yang tersaji di sii adalah tentang kehebatan? Sepertinya tidak. Saat melintas di depan Ronald Reagen World Center, kami melihat sebuah lapangan luas yang diisi tenda-tenda para penggiat gerakan Occupy Washington.

Di tenda itu terdapat banyak para pelaku gerakan social dan kaum miskin yang sedang menuntut hak-haknya. Mereka menyebut dirinya kaum 99 % sebagai simbolisasi bahwa mereka berasal dari kelompok mayoritas negeri itu yang menuntut haknya atas golongan 1 % yang menguasai ekonomi. Mereka meneriakkan kegeraman pada ekonomi yang disebut-sebutnya sebagai biang dari kemiskinan warga.

Kali ini, bertambah lagi konsepsi saya tentang negeri ini. Kejayaan dan kemegahan hanyalah tampilan luar yang menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Kebesaran itu hanyalah sebuah lipstick untuk menutupi satu keeping kenyataan yang juga terjadi di sini yakni kemiskinan. Saya teringat pria yang saya temui di stasiun, pria yang tinggal di sela-sela bangunan hanya dengan berbekal selimut serta plastik berisi pakaian, hingga para kaum miskin yang bergabung di lapangan ini.

Inilah Washington yang di dalamnya terdapat dua sisi mata uang koin; ada kemegahan atau kejayaan, tapi ada pula kemiskinan yang hidup bagai rumput liar di sela-sela tembok kekuasaan. Inilah kota yang warga kayanya telah menjelajah dunia dan meninggalkan jejak kejayaan, sementara warga miskinnya tengah bertarung demi sesuap nasi agar tetap eksis. Washington kota penuh memori kejayaan, tapi sekaligus memori kota yang sedih, sebagaimana kesedihan warganya yang bertarung demi hidup. Washington kota yang jaya, sekaligus kota yang muram.(*)

Foto: Rashmi Sharma dan Yuyun Sri Wahyuni

Bersambung



3 komentar:

Patta Hindi Asis mengatakan...

luar biasa catatan perjalananta kanda...Amerika dengan segala citra yang tak habis2nya dipuja ternxta memiliki sisi lain; kemiskinan.

inspiratif...

Dedi Iskamto taba mengatakan...

kalo dibandingkan dengan jakartar parah mana??

Yusran Darmawan mengatakan...

wah.. jangan dibandingin mas. jakarta udah amat parah..

Posting Komentar