NEW YORK: Kota yang Luka

Patung Liberty (foto: Yuyun Sri Wahyuni)

DI siang cerah dan agak dingin itu, perempuan berambut pirang yang dipenuhi uban itu tengah berjalan bersama pria berusia lanjut di depan Natural History Museum, New York. Mereka lalu berjalan ke samping dan duduk mengaso di depan Planetarium yang tertutup kaca dan terdapat benda sebesar bola dunia di dalam gedung itu.

Mereka menuntun seekor anjing kecil jenis pudel yang berwana coklat. Mereka lalu duduk di taman yang didedikasikan untuk mantan Presiden Theodore Roosevelt sembari membiarkan anjingnya berlarian ke sana kemari. Mereka nampak amat bahagia.

Saat ke taman itu, saya memberanikan diri untuk mengajak berbincang. “Anda nampak sangat bahagia. Apakah anda pernah merasakan kesedihan selama tinggal di kota ini?” Tiba-tiba saja, pasangan yang berusia sepuh itu lalu terdiam. Saya jadi merasa ada yang salah.

Perempuan itu menatap kosong ke depan sembari berkata, “Aku sudah puluhan tahun di sini. Terlampau banyak peristiwa sedih di sini. Salah satunya adalah runtuhnya menara kembar WTC. Aku menyaksikannya. Tapi aku harus bangkit dan menatap ke depan bersama anak cucu,” katanya. Saya tertegun.

Dua minggu lalu, saya menginjakkan kaki di kota New York. Saya merindukan kota ini sejak lama. Sewaktu belajar di sekolah dasar (SD) di satu desa kecil di Pulau Buton, almarhum ayah pernah bercerita bahwa New York bukan hanya kondang karena patung Liberty. Bukan juga karena sejarah masa silamnya yang pernah diklaim oleh Belanda.

New York adalah kota yang menjadi saksi hidup atas perang pertama dalam revolusi Amerika setelah deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) dikumandangkan. Perang antara Amerika dengan induknya Inggris inilah yang melambungkan nama pria kaya asal Virginia yang kemudian menjadi komandan perang dengan strategi intelijen jitu. Pria itu adalah George Washington, yang kini wajahnya selalu saya temukan dalam setiap lembar satu dollar.

memandang New York dari atas kapal

Perempuan di taman itu telah menggiring saya pada jalinan kisah panjang kota ini sebagai saksi dari aneka peristiwa. Mulai dari perang revolusi Amerika atas Inggris yang menelan ribuan korban jiwa, hingga perang di abad ke-21 yang amat menggoncang jiwanya, saat sebuah pesawat menabrak menara kembar WTC yang kemudian membuatnya luluh lantak hingga menewaskan sekitar 3.000 jiwa.

Semuanya menjadi nestapa yang bukan saja meninggalkan memori buruk atas kota ini, namun menjadi pengalaman traumatik yang bisa perlahan menikam warga kota. Ajaibnya, warga kota ini justru bisa bangkit kembali dan menata kehidupannya dengan lebih baik.

New York laksana gadis yang selalu menjaga kemolekannya. Sejatinya ia berusia tua, sebagaimana perempuan yang saya temui di taman itu namun selalu nampak fresh sebab tak pernah lelah berdandan. Saat berkeliling di situ, saya menyaksikan kota yang megah, modern, dengan gedung-gedung pencakar langit.

Saat menelusuri Manhattan, saya selalu tersadarkan bahwa saya sedang menelusuri sebuah dunia yang amat jauh berbeda dengan kota kecil Athens di Ohio, tempat saya berumah. New York adalah kota tua yang terus berbenah hingga menjadi kota yang amat cantik bagi siapapun yang memandangnya.

Di kota ini, saya mengunjungi museum, kemudian duduk santai di Central Park, semacam hutan kota yang amat luas di jantung kota. Saya juga menyempatkan diri untuk singgah menyaksikan Patung Liberty yang kesohor itu. Di malam hari, saya dan para sahabat singgah ke Times Square yang masyhur sebagai tempat nongkrong dan dikitari banyak gedung pagelaran tater Broadway. New York memang mempesona.

Pengalaman bertemu perempuan tua di taman itu membuat saya susah tidur selama beberapa hari. Saya membayangkan kalimatnya yang mengatakan bahwa dirinya teah menyaksikan aneka tragedi yang menghantam kota ini. Kota ini memang kerap disebut “The Wounded City” yang jika diterjemahkan secara bebas bisa bermakna “kota yang luka.”

Istilah ini saya temukan saat membaca tulisan Georgina Kay berjudul The Resilient City, New York after 9/11 and the New WTC Designs. Tulisan itu dimuat dalam karya JM Nas berjudul Cities Full of Symbol, yang diterbitkan Leiden University Press tahun 2011 (kebetulan, saya punya versi PDF buku ini. Tertarik untuk baca?).

Istilah “The Wouded City” ini sangat tepat sebab amat dekat dengan tragedi ribuan jiwa yang tiba-tiba tewas terkena reruntuhan bangunan serta ancaman bom yang silih berganti. Kota ini menyimpan banyak bekas luka yang menjadi jejak tentang tragedi, tentang peristiwa dahsyat yang pernah melanda kota ini.

Ground Zero atau Memorial 9/11
pemandangan di malam hari (foto: Rashmi Sharma)
air terjun menuju bumi (foto: Rashmi Sharma)
prasasti nama-nama di sekeliling air terjun

Bersama sahabat –sesama petualang dari Athens--, saya lalu berkunjung ke Ground Zero, yang dulu menjadi tempat berdirnya menara kembar. Di bekas bangunan tersebut terdapat sebuah prasasti yang disebut Memorial 9/11.

 Di tanah persegi yang dahulu terdapat bangunan, telah dibangun dua buah kolam besar yang merefleksikan jejak menara kembar. masing-masing memiliki air terjun setinggi 30 kaki (9 meter) yang mengalir deras di setiap sisi. Di sekeliling kolam itu terdapat batu hitam yang di atasnya terdapat pahatan nama-nama sebanyak 2.983 korban dalam serangan tersebut. Juga terdapat 1993 nama yang ditulis di atas perunggu.

Sang desainer Michael Arad menginginkan memorial yang dikelilingi 400 pohon ek ini sebagai tempat warga New York berkumpul. Ia menggambarkan prasasti itu sebagai sebuah bekas luka. "Ini bekas luka, dan bekas luka yang sementara sembuh," katanya kepada New York Daily News. "Ini bukan bekas luka yang kita sembunyikan. Itu hanya bagian dari hari-hari kehidupan kota," tambahnya.

Saya menemukan optimisme serta pengharapan dari kalimat ini. Ini menunjukkan kemampuan bertahan dari setiap tragedi dan ingatan traumatik yang seringkali serupa hantu masa silam dan mencekik kita di masa kini.

Dengan memilih tema air terjun serta lubang persegi di dasarnya, saya menangkap simbol bahwa semua yang pernah berdiri di situ akan kembali ke bumi, kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sementara air dan pohon-pohon menjadi simbol kehidupan yang terus bersemi dan kelak akan menyatu dengan air terjun itu dan menuju ke pelukan bumi. Mungkin memorial ini dimaksudkan untuk mengingat sekaligus merenungi hakekat kehdupan yang selalu terus berputar dan mengikuti daur tertentu (life cycle).

Di hadapan memorial itu, saya merenung. Yang menakjubkan bukanlah memorial ini. Tapi daya tahan warganya saat harus mengingat semua tragedi, menjalani hari-hari yang diliputi suasana mencekam, hingga kemampuan membaca masa depan, sebagaimana yang telah digariskan dalam visi masing-masing individu. Kehidupan memang terus berjalan, namun alangkah bijaksananya jika kita bisa mengenyam lapis-lapis hikmah dari masa silam, bahkan pada kejadian yang paling pahit sekalipun.

tim petualang Athens saat di depan White House

Saya langsung teringat tentang negeri saya yang jauh di sana. Negeri saya jauh lebih perkasa sebab sejak pertama didirikan sudah berkarib dengan kekerasan dan tragedi. Bukan hanya tragedi karena peperangan, namun juga tragedi karena kejahatan negaranya sendiri yang sering memosisikan rakyatnya sendiri sebagai tameng musuh. 

Tapi rakyat negeri saya jauh lebih perkasa dari pemerintahnya sendiri. Mereka tidak hendak larut dalam kesedihan bertahun-tahun. Mereka tak hendak menuntut negara atas tragedi dan kekerasan yang dialami. Mereka terus bergerak dan menorehkan jejak kehidupan dengan segala energi terbaik yang dimilikinya. Merekalah pahlawan sesungguhnya negeriku.(*)



Athens, Ohio, 23 Desember 2011





0 komentar:

Posting Komentar