Saat Muslim Indonesia Mengunjungi Gereja Katolik di Amerika

bersama pastor dan beberapa warga Milford


Bagaimanakah rasanya jika dirimu adalah seorang Muslim 
dan tiba-tiba masuk ke dalam gereja katolik?

Minggu (27/11), saya diundang seorang sahabat warga Amerika mengunjungi Gereja St Andrew di Milfrod, Cincinnati, yang terletak di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Seminggu ini, desa kecil Milford kedatangan banyak warga yang sebelumnya merantau ke banyak kota di AS.

Mereka kembali mudik ke kota kecil itu demi merayakan momen thanksgiving, di mana acara utamanya adalah makan ayam kalkun (turkey) bersama seluruh anggota keluarga. Di tanah air, momen ini serupa dengan mudik, di mana seluruh warga pulang kampung demi berkumpul bersama keluarga.

Bersama beberapa sahabat asal Indonesia dan India, kami ikut ke Milford demi memenuhi undangan seorang sahabat. Di sini, kami disambut sebagaimana layaknya keluarga. Beberapa orang sengaja berkunjung demi berbincang dengan kami. Banyak yang terheran-heran karena kami semua paham bahasa Inggris. Makanya, mereka betah diskusi banyak hal.

lilin di dalam gereja (foto: Rashmi Sharma)

Setelah mengunjungi beberapa rumah, saya punya dua kesimpulan; (1) tidak semua warga Amerika tahu negara-negara lain, sehingga ketika bertemu warga negara lain, mereka lalu penasaran dan selalu ingin bertanya banyak hal; (2) di mana-mana, khususnya di kawasan pedesaan, selalu saja bisa ditemukan kehangatan dan persaudaraan. Buktinya, kami disambut seperti saudara jauh yang datang. Kami mendapat perhatian dan kasih sayang banyak orang di kota kecil itu.

Di kota kecil inilah, saya berkesempatan untuk memasuki sebuah gereja katolik yang tertua di situ. Gereja ini merupakan tempat bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah federal dan dilestarikan.

Dikarenakan bangunan tua, maka bangunan gereja ini tidak terlalu mentereng, namun suasananya sangat asri. Tujuan saya ke gereja ini adalah demi memenuhi undangan sahabat tersebut, yang dalam beberapa minggu sebelumnya, selalu bersedia menemani saya ke masjid atau Islamic Center di Kota Athens, tempat saya berdomisili. Saya juga penasaran untuk menyaksikan bagaimana proses ibadah umat Katolik. Juga ingin tahu bagaimana mereka menilai saya yang Muslim dan tiba saja memasuki gereja.

Saya memperhatikan pengunjung gereja yang kebanyakan di antaranya adalah warga berusia lanjut dan anak-anak. Entah kenapa, saya tidak banyak menyaksikan anak-anak muda atau mereka yang berusia sebaya dengan kami.

Saya tiba-tiba teringat sahabat akrab saya, Novita Sianipar, yang hendak menulis bagaimana situasi gereja Inggris yang kian kehilangan jamaah. Kata Novita, di Medan, tempatnya berdomisili, hampir semua pemuda dan pemudi selalu meramaikan gereja. Pemandangannya sangat kontras dengan apa yang dilihatnya di Inggris. Di sinipun, saya membenarkan kalimat Novita.

Saya melihat ini sebagai fenomena global. Bahwa setiap religi atau agama mengalami dilema terkait dengan ekspansi sains yang sedemikian jauh hingga mengobrak-abrik keyakinan.

Jika sejatinya, ilmu dan religi bisa saling menguatkan, namun realitasnya justru cukup menggiriskan ketika warisan sains yang rasional itu malah kian mengaburkan peran-peran agama. Ritual agama jadi hilang makna, tanpa didasari iman atau kepercayaan yang semakin dalam.

Teman Berjilbab

Yang menarik, saya memasuki gereja ini bersama beberapa orang sahabat asal Indonesia yang mengenakan jilbab. Entah apakah saling mengunjungi ini dilakukan di tanah air, saya tidak banyak tahu. Padahal, ini bisa jadi kegiatan yang positif sebab bisa mempererat silaturahmi.

Apalagi, belakangan ini, hubungan antar agama sering diwarnai berita yang tidak begitu bagus. Maklumlah, tidak semua orang bisa berprasangka baik untuk selalu melihat positif apapun yang dilakukan orang lain. Saat memasuki gereja ini, saya tidak menemukan satupun pandangan yang aneh terhadap kami. Saat berada di pintu, beberapa orang datang menyalami kami sambil mengucapkan selamat datang. Saya menemukan kehangatan dan persaudaraan di sini.

Sebagaimana yang saya saksikan dalam film Hollywood, suasana di dalam gereja selalu saja sakral. Di dinding sebelah kiri, saya melihat banyak patung Yesus, serta gambar-gambar dinding tentang perjalanan Yesus ketika disalib.

Semua pengunjung menduduki kursi yang berbaris menghadap ke depan. Pada bagian bawah kursi, ada bagian yang bisa ditarik. Ternyata itu menjadi tempat untuk meletakkan lutut saat hendak bersimpuh. Pada balkon sebelah belakang, terdapat paduan suara yang beranggotakan penyanyi bersuara merdu. Saya senang mendengar nyanyian mereka.

Bersama sahabat asal India, saya duduk di satu kursi dan mengikuti ibadah. Kami mengikuti khutbah seorang pastor. Ia mengemukakan pesan spiritual yang amat indah tentang pentingnya pengorbanan serta pentingnya solidaritas social.

Dikarenakan bahasa Inggris saya masih amat terbatas, saya tak terlalu menangkap pesan lainnya. Usai khutbah, semua pengunjung lalu berbaris ke depan. Sang pastor memberikan sesuatu yang kemudian dikunyah, lalu masing-masing minum air dari piala kecil (gelas berwarna emas). Saya tak paham maknanya. Saya sendiri tidak ikut berbaris dan hanya menyaksikan saja dari kursi tempat duduk.

Usai ibadah, saya lalu bergabung dengan beberapa teman yang berjilbab. Uniknya, banyak orang yang datang dan menyalami kami. Saat hendak mengambil gambar, sang pastor mendatangi kami lalu memperkenalkan diri. Saat kami menyebut Indonesia dan India, ia tampak terkejut, lalu mempersilakan kami ke depan untuk mengambil gambar semau kami.

Dengan senang hati, ia ikut berpose sambil berseloroh kalau dirinya adalah bagian paling tidak penting dari proses pengambilan gambar itu. Kami tersenyum lalu berjabat tangan dan saling mendoakan kebahagiaan masing-masing.

saat di dalam gereja

Keluar dari gereja itu, keluarga Amerika yang kami kunjungi sudah menyambut. Sang ibu, yang sudah berusia lanjut itu, lalu mengajak kami ke rumahnya. Ia telah memenuhi meja makan dengan berbagai makanan, termasuk ayam kalkun. Kami lalu makan dengan lahap. Beberapa tetangga juga ikut bergabung dan banyak bertanya tentang Islam, agama yang kami anut.

Kami diskusi dalam suasana kekeluargaan. Mereka juga bercerita tentang beberapa ritual dalam gereja yang amat berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Mereka menganggap itu sebagai satu bentuk perubahan atas ajaran yang sudah ada sejak ratusan tahun silam.

Namun, mereka juga sama sadar bahwa beberapa perubahan mungkin perlu dilakukan oleh pihak Vatikan (sebagai induk kaum Katolik seluruh dunia) demi menjaga api ajaran agar tetap hangat di hati semua umat.

Mungkin inilah dinamika dari ritual yang terwariskan dari zaman sebelumnya. Bagi saya ritual lebih pada dimensi transendetal di mana terdapat dialog langsung antara manusia dengan Tuhan. Saya tak mau larut dalam diskusi tentang ritual. Sebab mereka sendiri amat menghormati keyakinan saya dan teman-teman. Saat hendak makan, kami diminta memimpin doa dengan cara Islami.

berpose di luar gereja

Makanya, saya lebih suka belajar pada kehangatan serta kebahagiaan yang dipancarkan warga Amerika yang sedang saya kunjungi ini. Saya amat tersentuh dengan ketulusan yang mereka miliki. Kami diperlakukan sebagai sebagai keluarga sendiri yang sengaja datang ke tempat itu untuk menyapa dan menjabat hati dengan mereka.

Sepulang dari tempat itu, usai menunaikan salat isya, saya lalu merenungi kebaikan keluarga itu. Mungkin, yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan doa yang tulus, semoga Yang Maha Menggenggam tak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang kepada mereka yang berbuat kebaikan pada sesama, kepada mereka yang mencintai sesamanya sebagaimana dirinya. Dan betapa damainya dunia ini jika semua manusia mencintai sesamanya. Amin!


Athens, Ohio, 28 November 2011

5 komentar:

Anugerah (ugha) mengatakan...

Hikss... Terharu. Sayapun di Indonesia turut merasakan kehangatan mereka.

Saya selalu penasaran dengan acara Thanksgiving mereka. Hanya saja, saya bisa menikmati acara-acara itu di film-film :D

*kembali menerawang* Semoga suatu saat bisa bersama mereka yang merayakannya :)

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih ugha. mudah2an kelak kita bisa datang ke sini.

Anonim mengatakan...

Sebenarnya ritual dan dekorasi gereja Katolik di seluruh dunia itu sama. Di Medan, Jakarta, Flores, Manado, atau Ohio sama. Roti yang dimakan itu untuk memperingati makan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan para rasul. Yang diminum itu bukan air melainkan anggur (wine).

Unknown mengatakan...

Terharu baca'nya !!

Anonim mengatakan...

Semoga semua orang yang beragama dapat bertoleransi seperti ini

Posting Komentar