Musik, Hening, dan Semesta yang Mengalir


DI ruangan besar yang hening itu, ia terdiam sesaat. Jemarinya menggenggam tongkat kecil sepanjang 30 centi yang kemudian diketukkan pada perkusi di hadapannya. Suara mengalun mulai terdengar lembut. Perempuan itu hadir bersama beberapa rekannya dari Akademie Percussion Ensemble Korea  demi menunjukkan daya jelajah dan eksplorasinya di ranah musik perkusi. Ia datang untuk bermusik dengan seniman Amerika yang malam itu tampil dengan amat matang. Hasilnya, sebuah kolaborasi yang menggetarkan!

Di ruangan Templeton-Blackburn Alumni Memorial Auditorium, Athens, Ohio, Senin (31/10) itu, saya menyaksikan sebuah kolaborasi yang amat menggetarkan. Saat perempuan Korea itu memainkan perkusi, saya seolah tidak sedang mendengar suara perkusi. Saya mendengar denting embun yang jatuh di dedaunan, kemudian beringsut lirih lalu jatuh ke tanah, mengalir bersama air lalu menuju sungai, lalu ke samudera, menjadi ombak yang bergulung-gulung. Suara perkusi itu ibarat kecipak air disentuh daun cemara yang menderai sampai jauh.


Sementara musisi-musisi Amerika yang tampil malam itu hadir dengan filosofi bahwa musik itu tidak selalu hadir dari instrumen. Musik bisa hadir dari apapun, termasuk kayu yang digesek, kertas yang diremas, atau dengan tepuk tangan. Sesekali, mereka tampak diam, tanpa saling menatap, namun tiba-tiba saja memainkan gerakan yang sama. Di sini, keheningan adalah bagian paling esensial. Dalam kesunyian itu, mereka bisa berkomunikasi, bisa bermusik, serta bisa saling memahami.

Saya terkenang film Hero yang digarap Zhang Yi Mou. Dalam film itu, ada adegan ketika Nameless (diperankan Jet Lee) berhadapan dengan Sky (diperankan Donnie Yen). Pertarungan kedua pendekar tanpa tanding ini tiba-tiba terhenti ketika datang seorang tua yang memainkan alat musik kecapi. Kedua pendekar ini lalu diam, kemudian menutup mata dan seolah sedang berkelahi dalam pikiran masing-masing ditingkahi suara musik dan hujan yang menetes-netes. Dan ketika si orang tua berhenti memainkan kecapi, keduanya membuka mata, lalu saling terjang dengan senjata terhunus. Sungguh dramatis!

Sikap diam dalam hening itulah yang kemarin saya saksikan. Baik pemusik Korea maupun pemusik Amerika itu seakan sudah paham arah bermusik masing-masing. Mereka ibarat Lionel Messi dan Andreas Iniesta, dua pemain bola kesohor asal Barcelona, yang seolah bisa menebak ke mana arah gerak masing-masing. Sikap tenang dalam hening, serta kemampuan memainkan ritme itulah yang kemudian menjadi elemen dasar dari bangunan music yang tengah mereka dirikan. Di dalam bangunan itulah mereka saling bersua, bertukar pikiran, dan saling menginspirasi.

Satu yang disayangkan, saya tak suka melihat ekspresi para pemusik itu. Jika musik adalah sebuah energi, maka saya membayangkan energi musik itu mengalir melalui ekspresi para pemainnya. Kemarin, ekspresi pemainnya datar. Tak ada gejolak. Tak ada emosi. Seolah mereka sedang membaca sebuah partitur musik dan memainkan sesuai not yang tertera di situ.

Kitaro
Saya teringat seorang seniman Jepang, Kitaro. Saya amat suka dengan gayanya yang energik dan kontemplatif. Saat irama yang diadopsi dari suara alam mengalir, ekspresinya berubah. Baik mimik, gerak tubuh, serta sikap seolah menyatu dengan musik yang mengalir deras bak samudera. Dalam karya-karya orisinalnya seperti Matsuri dan Dance of Sarasvaty, Kitaro seolah menyatu dengan alam, mengikuti gerak semesta yang mengalir, kemudian mendedahkannya dalam irama yang amat memukau.

Kitaro adalah yang terbaik di bidangnya.




0 komentar:

Posting Komentar