Demo di Amerika: Tanpa Teriak, Tanpa Api

saat saya ikut demo di Ohio
DI Makassar, saya terbiasa melihat para demonstran memacetkan jalan raya. Sering pula saya melihat mahasiswa berdemo sambil membakar ban, berkelahi dengan polisi, atau membakar mobil aparat. Kalau perlu membakar kampus sendiri. Di Jakarta, saya pun sering melihat demonstran membawa spanduk, dan berteriak-teriak di jalan raya. Nah, di Athens, Ohio, Amerika Serikat, saya pun melihat aksi demonstrasi. Apakah demonstrasinya sebagaimana yang terlihat di Indonesia?

***

PRIA renta itu bernama Chuck. Ia tinggal di pinggiran Athens, pada jarak yang cukup jauh. Hari itu, ia datang ke kampus Ohio University sambil membawa kostum khas Paman Sam, yakni pakaian dan topi yang berwarna senada dengan bendera AS. Ia datang atas kehendak sendiri demi menyatakan sikap pribadinya pada gerakan besar bernama Occupy Ohio yang tengah marak. Ia bergabung bersama warga yang menamakan dirinya 99 % sebagai simbol rakyat Amerika kebanyakan dan melawan 1 % yang menjadi simbol para konglomerat dan pemilik korporasi. Gerakan 99 % inilah yang menyatukan mereka hingga rela berdemonstrasi.

Saya datang menemuinya dan ikut berbincang. Ternyata Chuck adalah pensiunan professor yang menyebut dirinya sebagai warga biasa. Ketika ditanya, ia sangat berapi-api menjelaskan bahwa korporasi mulai menguasai Ohio. Industri pertambangan mulai masuk di beberapa titik, dan mulai mencemari lingkungan, serta memaksa warga untuk menjual tanah.

foto: Yazid Sururi

Memang, isu pertambangan menjadi bahasan yang cukup ramai. Dahulu, Amerika serikat (AS) tidak pernah mengolah tambangnya sendiri. Mereka memilih untuk mencaplok tambang di banyak negara, termasuk Indonesia. Tapi, sejak krisis mulai merebak, banyak perusahaan mulai mengeksplorasi minyak.
Mereka memakai cara yang sedikit ‘licik’ yakni mengeksplorasi di satu tempat, kemudian mencemari air dengan minyak hingga tidak layak pakai, hingga -dengan sangat terpaksa-warga lalu menjual tanah dengan murah. Di Indonesia, ini praktik umum yang sering terjadi. Tapi di Amerika, ini termasuk baru dan mulai meresahkan banyak warga, termasuk Chuck.

“Saya benci melihat cara-cara licik korporasi yang membodohi rakyat biasa,” katanya dengan berapi-api. “Makanya, saya ingin bergabung dengan aksi ini demi menyatakan sikap saya yang menolak tindakan para korporasi di tanah Athens,” sambungnya.

Usai berbicara, ia lalu mengeluarkan bangau kertas yang dibuatnya. Ia memperlihatkan tulisan “Sadako and Paper Crane” di bangau itu. Ia lalu menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Sadako yang menjadi korban radiasi nuklir saat bom mnghantam Hiroshima dan Nagasaki. “Saya ingin menunjukkan sisi lain negeri saya sendiri yang berlaku kejam di negara lain,” katanya.

Selama beberapa hari ini, kota kecil Athens dihebohkan dengan demonstrasi. Menurut beberapa sahabat, demonstrasi adalah sesuatu yang langka di sini. Namun genederang perubahan dan aksi terdengar nyaring di seluruh wilayah Amerika. Mereka -yang menyebut dirinya 99 persen itu-merapatkan barisan, lalu bersama menyatakan sikapnya.

Yang menarik buat saya karena demonstrasi tersebut dilakukan sangat tertib. Masyarakat datang dari berbagai tempat lalu bergabung bersama mahasiswa dalam gerakan tersebut secara suka rela. Di lahan kecil dalam kampus, mereka membangun tenda-tenda, lalu berdiskusi tentang banyak hal sambil membentangkan spanduk. Saat saya singgah ke situ, mereka sedang membentuk lingkaran lalu bertukar pikiran.

Demonstrasi ini sangat jauh dari bayangan saya tentang demo di tanah air. Saat membentuk lingkaran mereka lalu berbicara tentang apa yang menjadi keresahannya selama ini. Di sini tak ada koordinator lapangan (korlap). Seorang perempuan, yang berprofesi sebagai mahasiswa program S3, lalu menjelaskan tentang demo tersebut. “Tujuan kami di sini adalah menggugah kesadaran. Kami ingin menyebarkan pemahaman bahwa ada sesuatu yang salah di sini.”

Dalam diskusi kecil itu, saya menemukan beberapa kesamaan tema yang mempertautkan mereka. Di antaranya adalah keinginan untuk menghapus jurang perbedaan antara kaya dan miskin. “Kita berdiri di sini agar kita sama-sama dihitung. Kita ingin mewujudkan demokrasi dan menghapus batas antara kaum berpunya dan kaum tak berpunya. Untuk itu, para korporasi itu harus enyah dari bumi Amerika. Mereka telah memiskinkan kita semua,” demikian kata seorang demonstran dengan berapi-api.

foto: Yazid Sururi
Usai saling diskusi, mereka lalu mencatat dan menginventarisir apa-apa saja yang dikeluhkan. Di antaranya adalah masalah pencemaran lingkungan olh korporasi, jaminan kesehatan, mengusir bank swasta, dana kredit mahasiswa, hingga ancaman kemiskinan dan kelaparan. Mereka mencatat semua isu tersebut, lalu sama-sama mendiskusikan apa langkah selanjutnya. Rencananya, mereka akan tinggal di tenda-tenda itu selama seminggu dan setiap harinya memiliki agenda sendiri-sendiri.

Jejaring Perlawanan

Yang menakjubkan adalah aksi perlawanan atas korporasi ini didorong oleh aksi yang sangat terorganisir dan dimulai dari kantung-kantung massa. Para penggiat gerakan punya visi yang kuat atas masyarakat, lalu membangun jejaring gerakan dengan elemen masyarakat lain yang juga memiliki visi yang sama. Mereka juga beruntung karena pemerintahnya men-support tumbuhnya gerakan akar rumput seperti ini. Bahkan partai politik pun sangat responsive dalam memberikan bantuan kepada warga.

Salah satu bentuk penguatan jaringan itu nampak pada para petani organik memiliki jaringan hingga ke pemasar hingga ke para pemilik kafe, yang kemudian menghibahkan ampas kopi demi menjadi pupuk. Mereka saling mendukung dalam stau jaringan sehingga terbentuk mata rantai saling membutuhkan di antara mereka.Inilah model gerakan yang belum banyak saya lihat di Indonesia.

seorang ibu ikut berdemo

Gerakan mereka benar-benar dimulai dari bawah, dinyalakan oleh kesadaran serta hasrat untuk tetap bersatu. Makanya, gerakan komunitas cukup mendapat tempat di sini seperti radio komunitas, kemandirian untuk melepaskan diri dari industri besar baik pangan maupun perumahan, hingga komunitas pelestari tanaman medis. Gerakan mereka juga merambah ke dunia maya, sehingga siapapun bisa saling memberi informasi serta menyebarkan rencana aksi.

Pada saat tertentu, mereka dengan cepat berkonsolidasi dan saling men-support gerakan ini. Gerakan itu makin kuat karena pihak kampus juga memberikan dukungan kuat. Mahasiswapun ikut bergabung hingga makin menjadi gerakan besar. Saya merasa beruntung bsia diskusi dan belajar banyak dari para demonstran cerdas ini. Akhirnya saya bisa melihat demo tanpa amarah, tanpa api yang menyala-nyala.

Saat saya mengunjungi lokasi aksi, saya lalu menemui seorang mahasiswa yang ditunjuk menjadi juru bicara. Saat saya tanya mengapa berani mengkritik negaranya sendiri, mahasiswa berparas cantik itu lalu menjawab, “Saya muak dengan kebijakan perusahaan yang menyebarkan bencana lingkungan di mana-mana, khususnya di negara seperti Indonesia.” What? Saya langsung tersedak.(*)


Athens, Ohio, 21 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar