Memahami Keindonesiaan Melalui Agnes Monica

Agnes Monica

MINGGU lalu, artis Agnes Monica tampil membawakan presentasi dalam bahasa Inggris di hadapan sekitar 300 peserta Program Beasiswa-Mikro Bahasa Inggris Access di Pacific Place Mall, Jakarta. Sebagaimana ditulis Kompas.com, ia tampil membawakan prsentasi singkat mengenai “Dream, Believe, and Make It Happen,” berdasarkan pengalamannya.Ia tampil dengan bahasa Inggris yang sangat fasih hinggamengundang decak kagum banyak orang.  Bahkan, seorang moderator berkebangsaan AS sempat memberikan pujiannya terhadap Agnes, “Penggunaan bahasa Inggris-nya lebih baik ketimbang saya berbicara bahasa Indonesia.”

Penampilan tersebut laksana oase dari hujan kritikan yang diterima Agnes beberapa bulan silam. Di ajang American Music Awards (AMA) tahun 2010 lalu, Agnes nampak kikuk dan hanya bisa cengengesan ketika didaulat sebagai presenter. Saat berbicara, sangat terlihat kalau ia grogi dengan kemampuan bahasa Inggris-nya yang pas-pasan. Tak pelak, Agnes jadi bulan-bulanan kritik media di Indonesia. Sejak itu, ia belajar bahasa Inggris dengan serius. Kini, ia mulai memetik buahnya. Ia telah sukses menguasai bahasa yang bukan merupakan bahasa ibunya.

Nadine Chandrawinata
Hal menarik untuk dicermati bersama adalah mengapa publik selalu bereaksi ketika ada warga kita sendiri yang tidak fasih berbahasa Inggris. Ini bukanlah yang pertama di Indonesia. Kasus ini pernah pula dialami dua mantan Miss Indonesia Nadine Chandrawinata dan Qory Sandirova. Pada ajang pemilihan Miss Universe tahun 2006, Nadine -sebagai wakil Indonesia– menghebohkan jagad hiburan tanah air ketika dalam sesi wawancara, ia berkata, “Indonesia is a big city.” Sementara Qory Sandioriva juga jadi bahan olok-olok ketika gadis asal Aceh ini mengikuti Miss Universe tahun 2010. Dalam sesi wawancara, terlihat kalau ia tidak fasih berbahasa Inggris.

Rentetan kasus tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan. Baik Agnes, Nadine, maupun Qory sama-sama menjadi sasaran kecaman dan celaan banyak orang, hanya karena dianggap tidak fasih berbahasa Inggris. Padahal, saya sendiri berpikir sebaliknya. Mereka tak pandai berbahasa Inggris sebab hanya pandai berbahasa Indonesia. Bukankah ini adalah satu kenyataan yang membahagiakan kita sebagai bangsa? Bukankah kita mesti bangsa sebab tidak fasihnya mereka berbahasa Inggris menunjukkan bahwa mereka sangat Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu yang menjadi alat komunikasi sehari-hari? Lantas, mengapa harus malu ketika kita tidak bisa berbahasa Inggris?

Sebagaimana dikemukakan di atas, pengalaman Agnes, Nadine, dan Cory bisa menjadi pintu masuk untuk menguak jantung sosiologis masyarakat Indonesia serta relasinya dengan dinamika dan percaturan global. Pengalaman mereka yang mendapatkan bertubi-tubi kecaman justru menjadi jendela untuk melihat kebudayaan kita sendiri serta bagaimana kita memahami konsep keindonesiaan. Saya sendiri mencatat beberapa hal menarik.

Nadine Chandrawinata
Pertama, di abad di mana informasi menjadi komoditas penting, kita seakan kehilangan kedirian kita di pentas global. Kita laksana seseorang yang mematut-matut diri kita di depan cermin dan berusaha menyamakan diri kita dengan bangsa lain baik dari sisi selera maupun kebudayaan. Kita kehilangan kedirian kita dalam konteks global ketika kita justru hadir tanpa karakter. Kita lebih suka dengan segala tampilan asing, termasuk bahasa, dan merasa minder dengan kemampuan bahasa asing yang terbatas. Saya tak punya banyak pengalaman di pentas global, namun saya punya beberapa pengalaman bertemu teman dari Jepang dan Cina yang justru berbahasa Inggris dengan pas-pasan. Tapi mereka justru bangga dengan dirinya sebab menunjukkan kecintaan yang luar biasa pada bahasanya sendiri. Demikian pula dengan teman bangsa Perancis yang justru menolak penggunaan bahasa Inggris dan berusaha untuk ‘mengekspor’ bahasa Perancis ke mana-mana.

Beberapa bulan lalu, saya membaca publikasi tentang betapa masygulnya warga Malaysia karena warganya lebih suka memakai bahasa Inggris ketimbang bahasa Melayu. Malah, seorang pejabat Malaysia sangat sering mengutip contoh tentang orang Indonesia yang demikian bangga berbahasa Indonesia. Di abad secanggih ini, ada semacam kekhawatiran akan tergerusnya budaya lokal akibat penetrasi budaya global. Bahkan ada kecurigaan bahwa internasionalisasi bahasa Inggris memiliki muatan ideologis berupa ekspansi pasar ke negeri-negeri lain demi mempertebal pundi-pundi para bule di negeri sono. Di level Asia, bangsa seperti Cina, jepang, dan Korea, perlahan mulai sukses menjadikan bahasanya sebagai bahasa global demi memuluskan jalan bagi ekspansi industri kreatif melalui televisi. Makanya, beberapa bangsa berusaha memproteksi kebudayaannya dengan menggalakkan gerakan mencintai kebudayaannya sendiri. Lantas, ketika seorang warga kita justru tidak fasih bahasa Inggris, mengapa harus ditertawakan?

Kedua, fenomena ini menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita mengidap sebuah paradoks. Di satu sisi kita selalu berbicara tentang kepribadian nasional dan pentingnya mempertahankan jati diri sebagai bangsa Indonesia, namun di sisi lain kita mudah mentertawakan seseorang yang kurang fasih berbahasa Indonesia. Baik Agnes, Nadine, maupun Qory telah menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi bangsa Indonesia yang menggunakan bahasa kita sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan. Lucunya, banyak yang mempertanyakan kelayakan mereka sebagai representasi Indoensia.

Qory Sandirova
Padahal, bahasa yang tidak fasih itu menunjukkan bahwa mereka sangat Indonesia. Justru mereka yang tidak fasih itu adalah cerminan diri kita sendiri yang memang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Justru yang tidak fasih itu adalah potret masyarakat kita yang –dengan segala lebih dan kekurangannya– telah bertransformasi sebagai bangsa Indonesia yang berpikir dan berbicara dalam bahasa nasional.  Bagi saya, tak ada yang salah dengan ketidakmampuan berbahasa Inggris. Yang salah adalah ketika ada warga kita yang justru tak bisa berbahasa Indonesia.

Ketiga, boleh jadi banyak di antara bangsa kita yang sok ngerti bahasa Inggris, tapi sejatinya tak bisa berbahasa Inggris. Di kampung saya, di Kota Baubau, banyak nama toko, usaha, pasar serba ada, atau merek barang yang berbahasa Inggris. Di sekitar rumah saya terdapat sebuah took kelontong yang namanya MGM (dan dilafalkan em ji em). Padahal, sang pemilik toko justru tak bisa sama sekali berbahasa Inggris. Ini hanya satu contoh kecil bahwa bahasa Inggris seolah identik dengan kelas social tertentu sehingga ‘memaksa’ kita untuk selalu menggunakannya dalam segala aspek kehidupan kita, meskipun kita sendiri tak terlalu paham maknanya. Tak percaya? Lihat saja banyak produk di took-toko kelontong. Rata-rata menggunakan bahasa Inggris sebab diyakini akan meningkatkan gengsi atau kelas social.

Qory
Keempat, adalah merupakan kesalahan berpikir jika menganggap tidak fasih berbahasa Inggris identik dengan kebodohan. Malah, meluasnya penggunaan bahasa Inggris itu bisa pula disebut sebagai buah dari proses Amerikanisasi di kawasan Asia Tnggara yang sudah berlangsung selama beberapa dekade usai perang dunia kedua dan perang dingin. Sejak saat itu, terbetuk tata dunia baru di mana Amerika Serikat (AS) menjadi poros utama yang menentukan ke mana dunia bergerak. Selama periode itu, bangsa-bangsa berusaha mengikuti selera Amerika, tak hanya dari sisi kebijakan politik, hingga aspek berbahasa. Apalagi, bahasa Inggris adalah bahasa yang sudah menginternasional.

Akibatnya, saat ini sedang bertumbuh satu generasi dalam masyarakat kita yang mulai permisif berbahasa Inggris. Ini sangat kontras dengan generasi sebelumnya yang justru membutuhkan proses untuk berbahasa Indonesia. Kalau tak salah, dalam lakon Srimulat tahun 1970-an, selalu terdapat parodi tentang penggunaan bahasa Indonesia sebab lawakan disajikan dalam bahasa Jawa. Pada masa itu, bahasa Indonesia masih dalam proses pertumbuhan. Kini, bahasa Indonesia berhasil menjadi bahasa ibu, dan selanjutnya bahasa Inggris yang mulai menjadi bahan olok-olok bagi sebagian orang. Ketika melihat penampilan Tukul -yang notabene adalah generasi Srimulat-kian menegaskan transformasi masyarakat yang kian memijak dua kaki yakni memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, namun mulai melek atau mengenal istilah-istilah bahasa Inggris.

Ungkapan bahasa Inggris mudah ditemukan di mana-mana. Dulu, istilah itu dikutip demi meningkatkan gengsi atau kesan atas substansi pembicaraaan, kini istilah itu digunakan karena kita mulai kesulitan menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kita mulai lebih nyaman dnegan istilah bahasa Inggris, misalnya kita lebih suka menggunakan kata download ketimbang kata unduh, atau kata laptop ketimbang komputer jinjing. Istilah berbahasa Inggris mulai hadir karena kita mulai kesulitan menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa ibu kita sendiri. Bahasa Inggris perlahan menjadi bahasa sains yang mutlak dikuasai ketika belajar di tingkat universitas.

Agnes Monica
Dalam situasi seperti ini, kehadiran artis semacam Agnes, Qory, dan Nadine adalah potret masyarakat kita yang sedang memijak dua kaki tersebut. Mereka fasilh berbahasa Indonesia (sebab merupakan bahasa ibu), tapi mengerti sedikit-sedikit istilah bahasa Inggris. Ketika mereka tidak fasih, janganlah kita ikut-ikutan tertawa sebab mereka telah menunjukkan wajah kita yang sesungguhnya. Meskipun kini Agnes telah fasih berbahasa Inggris, kita tetap tidak didera kekhawatiran bahwa bahasa kita akan tergerus. Sebab bahasa Inggris hanya digunakan pada saat tertentu yang sifatnya terbatas. Gimana menurut Mbak Agnes? Setuju?
.

1 komentar:

Yaya Setia mengatakan...

totuu sokali bela :)

Posting Komentar