Jejak Abdi Para Penyaksi

DI zaman ketika berita jauh lebih cepat dari peluru, tetap saja diriku terlambat mengejar informasi. Baru kusadari kalau beberapa hari lalu, jurnalis senior Rosihan Anwar telah dipanggil Yang Maha memanggil. Dan betapa kusesali diriku karena tidak membuat catatan kecil tentang dirinya. Minimal catatan itu bisa menjelma sebagai ribuan doa yang melempangkan jalannya.

jenazah Rosihan Anwar
Rosihan Anwar adalah salah satu pencatat sejarah paling unik yang dimiliki bangsa ini. Jika para sejarawan amat teliti mencatat sebuah kejadian, kronologis, serta siapa saja yang terkait sebuah kejadian, Rosihan Anwar mencatat detail-detail yang justru diabaikan sejarawan. Ia mencatat gejolak emosi, kisah-kisah menarik, serta hal-hal sepele yang justru memiliki sentuhan human interest yang kuat hingga meninggalkan jejak di benak pembacanya. Di benak Rosihan, sejarah bukanlah sederet tulisan kaku yang mencatat peristiwa besar. Sejarah adalah sebuah bangunan yang ditata dari kepingan-kepingan yang membuat konstruksinya kian kokoh, dari himpunan pengalaman kecil yang mungkin sepele dan agak konyol tentang manusia-manusia yang menjadi pelaku sejarah 

Makanya, ia amat piawai menghidupkan suasana. Salah satu tulisannya yang melekat di benakku  adalah ketika ia menggambarkan dialognya dengan Presiden Sukarno tentang cara membedakan perawan dan bukan perawan. Atau cerita tentang pakaian yang dikenakan Bung Tomo sebelum membakar semangat warga Surabaya. Kisah lain yang kucatat adalah suasana dramatis ketika ia mengikuti Bung Hatta dalam konferensi Meja Bundar (KMB). Juga reportase tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Ia melukiskan visi besar Bung Karno tentang penyatuan bangsa visi Asia Afrika, lengkap dengan kisah-kisah di balik konferensi tersebut.

Rosihan adalah pencatat paling unik. Kisahnya memang sederhana, namun melalui kisah itu kita jadi paham bahwa tokoh sekaliber Sukarno pun adalah seorang manusia biasa yang penuh gurauan dan candaan sebagai cara berkomunikasi pada lawan bicaranya. Kita juga jadi paham bahwa di tengah kecamuk pikiran Sukarno tentang ideologi-ideologi besar dunia, ia juga manusia biasa yang hobi kelakar dan punya banyak stok kisah humor untuk dibagikan kepada siapa saja. Melalui kisah yang ditulis Rosihan, kita bisa menangkap detail emosi, serta gambaran lengkap tentang seornag tokoh. Tidak sekadar kisah besar sebagaimana catatan sejarawan, melainkan kisah-kisah kecil yang runtut dengan sapuan kemanusiaan yang kental dalam dinamika kebangsaan kita.

Aku sering bertahya-tanya, apakah Rosihan Anwar membaca buku karya antropolog Clifford Geertz sehingga pendekatan sejarahnya benar-benar berbeda? Di tahun 1960-an, Geertz banyak mengkritik pendekatan sejarah dan mengajukan pendekatan yang biasa-biasa saja. Pendekatan Geertz memandang hal-hal remeh-temeh (mundane), biasa-biasa, serta keseharian (everyday life) --misalnya sabung ayam (cockfight), uang mahar (dowry), pembantaian babi-- yang dianggap bergerak menjauh dari “isyu-isyu yang mengguncangkan dunia” sebagaimana sering dibahas para sejarawan yaitu para kaisar, raja, pemikir, ideologi, kelas, kasta, maupun revolusi. Sebagaimana Geertz, Rosihan Anwar juga banyak menaruh perhatian pada isu-isu yang dianggap tidak penting, namun sesungguhnya telah menggerakkan dinamika kesejarahan, serta menunjukkan cara pandang kemanusiaan di balik setiap kejadian besar.

Rosihan adalah sosok yang paham bahwa kata-kata bisa menjadi pelita yang terang bahkan di malam yang pekat sekalipun. Sebagai jurnalis, ia menyabung nyawa untuk menyampaikan sekeping informasi kepada publik. Nampaknya ia paham benar bahwa informasi yang akurat akan lahir dari keseriusan dan ketekunan untuk mencatat setiap informasi. Atas alasan itu pulalah, ia membuat sktesa catatan yang sangat detail tentang sebuah masa, khususnya pada masa awal ketika republik ini hendak mencari bentuk. Mencatat bukanlah pekerjaan tanpa rasa bosan, tetapi tidak bisa membuatnya berhenti. Dan mengabarkan bukan pekerjaan yang mudah tetapi pantas untuk dicintai. 

Dunia pencatatan baginya bukan berarti bebas tanpa pemihakan. Sebagai pencatat kesaksian, ia memilih untuk tetap berpihak pada nilai-nilai yang sejak awal telah dipilihnya sebagai payung untuk menaunginya dari berbagai hujan ideologi. Atas alasan ini, ia kerap menjadi korban atas politik sang penguasa. Justru karena keberpihakannya itu, jalan terang bisa dibuka untuk dilalui. Hanya seorang saksi sejati yang bisa membuat sebuah cerita tampak nyata bagi pembacanya. 

Lewat pena Rosihan kita merasakan degup jantung sebuah peristiwa ketika jenderal Soedirman hendak kembali ke Yogyakarta. Kita bisa merasakan di balik penyakit ganas yang menggerogoti tubuh jenderal besar itu, tersisa lapis-lapis semangat yang meletup dan memberinya kekuatan untuk melaksanakan perang gerilya di setiap jengkal hutan Pulau Jawa. 

Kita merasakan detak jantung peristiwa lewat ketekunan jurnalis sehebat Rosihan Anwar. Hari ini, aku hanya bisa mengucap sedih atas kepergiannya. Ia memang pergi jauh, namun ia telah menggoreskan jejak-jejak yang abadi di sanubari kita semua. Jejak abadi yang hendak mengabarkan bahwa matinya seorang penyaksi, bukanlah matinya. Dan kepada para penyaksi dan pencatat inilah kita banyak berhutang atas timbunan kearifan dan pengetahuan yang bersarang di benak kita masing-masing. Selamat jalan Rosihan Anwar.


Jakarta, 17 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar