Tolong!!! Sahabat Saya Tertembak

sahabat muda yang tertembak


SOFYAN tertembak. Pesan itu saya terima di satu pagi melalui catatan seorang sahabat di Facebook. Nun jauh di Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar), Sofyan, sahabat yang berprofesi sebagai dosen tersebut tertembak di leher. Berposisi di tengah masssa yang sedang berdemonstrasi, alumni Ilmu Komunikasi, Fisip Unhas itu, menjadi sasaran empuk para penembak jitu di kepolisian. Tiga peluru tajam menembus tubuhnya hingga terkapar bersimbah darah.

Mulanya saya pikir ia akan sebagaimana sedia kala. Namun, dokter yang memeriksanya memberi pernyataan yang mengejutkan. Ternyata peluru itu menembus leher hingga tulang belakang ke pusat jaringan saraf. Ia divonis bakal menderita kelumpuhan dari leher hingga ke bawah. Bisakah kita membayangkan bagaimana seorang sahabat yang dulunya aktif dan lincah bergerak tiba-tiba mengalami kelumpuhan?

Saya mengenalnya sejak tahun 2001 saat ia terdaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia aktif berorganisasi dan kerap terlibat dalam kepanitiaan organisasi. Fisiknya kekar dan gempal. Dalam beberapa kegiatan, ia pernah menjadi tim keamanan. Setahu saya, sahabat itu kerap meledak-ledak. Ia bukan tipe seorang yang sabar dan tenang duduk di satu tempat. Ia sangat loyal pada organisasi. 

Saya ingat ia pernah menjadi ketua panitia Figur, kegiatan pelatihan buat mahasiswa baru. Ia sempat keringatan saat hendak memberikan sambutan. Tubuhnya basah kuyup. Namun momen itu menjadi momen penting yang kian menautkannya pada organisasi mahasiswa tempatnya bernaung. Ia membuktikan loyalitasnya sebagai aktivis kampus yang setia dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Menjadi aktivis memang nampaknya klise bagi sebagian orang. Kita sering menggeleng dan meremehkan ketika mendengar seseorang memilih aktif di jalan pedang, jalannya mereka yang mempertaruhkan kebenaran. Kita menganggapnya jalan sesat sebab bukannya jalan mereka yang hidup normal. Betapa kian pragmatisnya kita ketika mengabaikan mereka yang memilih jalan tersebut dan memperjuangkannya di tengah sinisme banyak orang. 

Saya tak hendak larut pada sinisme tersebut. Saya tahu bahwa ruang gerak saya amat terbatas untuk berkata tidak pada sebuah rezim yang lalim atau menyampaikan isi hati yang menggelegak. Makanya saya sangat menghargai siapapun yang mendedikasikan hidupnya di jalan pedang. Saya tak pernah melihat mereka sebagai mahluk aneh yang mengorbankan masa muda untuk mengasah pedang konflik. Bagi saya mereka adalah pahlawan yang menyampaikan sesuatu di tengah barisan massa yang memilih menjadi batu. Dengan cara ini saya sangat mengapresiasi posisi Sofyan ketika berada di Sulbar, saat menjadi staf pengajar di universitas Asy'ariah, Polewali Mandar, Sulbar. 

Bisa juga kita mengatakan bahwa ia hanya ikut-ikutan massa mahasiswa yang hendak mempertahankan aset kampus itu yang hendak digusur. Tapi apapun spekulasinya, yang jelas ia berada di tengah massa yang sedang meradang dan berdemonstrasi. Dan para aparat bersenjata itu tiba-tiba ikut beringas dan menghamburkan peluru pada warga sipil, pihak yang justru harus dilindunginya. Sofyan terkapar dan bersimbah darah. Saya sangat sedih ketika membayangkan sahabat yang berusia 27 tahun itu hanya bisa berbaring untuk menghadapi hari. Ia punya istri dan dua orang anak yang masih kecil. bahkan, saat ini istrinya tengah hamil muda. Apakah gerangan yang dilakukan sahabat muda itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya? Saya hanya sanggup berempati. 

Seorang kawan berbisik ia akan menjalani hari sebagaimana fisikawan Stephen Hawking di atas kursi roda. Namun, Sofyan bukanlah Hawking yang sebelumnya divonis penyakit ganas, dan punya momen untuk menenangkan dirinya secara psikologis dan memikirkan hendak ke mana. Sahabat saya itu lumpuh karena tertembak, sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semacam petaka yang tiba-tiba jatuh dan menyapa. Kita memang tak pernah sanggup menebak teka-teki nasib sebagaimana Sofyan yang tak sanggup membaca ke mana arah larinya tiga butir peluru. Nasib serupa kisah tentang malaikat bertudung dan mebawa arit dan tiba-tiba saja memilih siapapun hanya berdasarkan selera hati.

Sungguh saya menyangka jika sang nasib memilih sahabat muda itu. Saya amat sedih hingga tak mampu berkata-kata. Setiap hari saya merindukan berita gembira dan keajaiban, sebagaimana yang pernah Tuhan titipkan pada beberapa manusia yang sedang ditimpa lara. Namun apa daya, berita yang saya dengar adalah vonis kelumpuhan dari dokter yang merawat.

proyektil yang bersarang
Saat ini, beberapa teman tengah mengupayakan agar pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dalam bayangan saya, aparat yang menembak itu mungkin saja kehilangan pekerjaan, namun ia masih bisa mencari pekerjaan pada jalur lain. Mungkin saja kelak ia akan menjadi bodyguard, atau pembunuh bayaran dengan keahliannya sebagai sniper yang pernah menjejalkan peluru ke leher Sofyan. Tidakkah ia berempati pada nasib korbannya yang mengalami kelumpuhan di saat mesti menghidup sebuah keluarga kecil?

Sementara bagi atasannya, kelumpuhan hanya dianggap sebagai efek samping dari sebuah operasi. Palingan, hukumannya adalah penundaan kenaikan pangkat, ataupun mutasi ke tempat baru, yang sesungguhnya menjadi dalih untuk melindungi karier. Kita memang hidup di sebuah dunia di mana penderitaan orang lain hanya dilihat sebagai penanda kecil dari sebuah berkas laporan. Kita susah menemukan kebesaran hati yang bersedia mengakui kesalahan dan bersedia untuk meletakkan jabatan sebagai wujud jiwa besar atas kesalahan. Di negeri ini kebesaran hati tiba-tiba saja menguap, tanpa meninggalkan jejak.

Rasa-rasanya suara ini kian parau ketika membahas tentang kesedihan atas Sofyan. Saya tak bisa menolerir pilihan untuk memuntahkan peluru pada warga sendiri. Mengapa harus Sofyan yang ditembak? Mengapa bukan Gayus Tambunan? Sejuta pertanyaan bersarang di benak ini. Kita seakan kembali ke zaman koboi ketika pistol setiap saat bisa menyalak, dan tiba-tiba ada tubuh yang rebah dan bersimbah darah, tanpa alasan jelas. 

Saya tak sekadar memikirkan Sofyan, saya memikirkan bahwa siapapun bisa menjadi korban berikutnya. Siapapun dan di manapun posisi kita pasti akan berhadapan dengan risiko menjadi sasaran tembak dari sebuah rezim. Kita sedang hidup dalam situasi ketidakamanan. Kita adalah rakyat yang ternyata tak dilindungi kekuatan besar bernama negara. Konsensus dan janji untuk melindungi itu tak lebih bualan dari para pemodal yang menguasai negeri para cukong ini. Dalam berbagai situasi, sebuah peluru bisa menyalak dan menembus tubuh hingga terkapar. Dan kita hidup di atas bara ketidakadilan hingga seribu pertanyaan menguap di kepala kita.

Dalam situasi seperti ini, di manakah posisi pemerintah? Di manakah posisi aparat? Mereka memang melindungi kita sebagai warga negara. Tapi bukankah kalimat itu hanya tercantum di konstitusi sebagai barang sakral yang dijaga-jaga? Bukankah kalimat itu tak pernah menjadi baju zirah yang melindungi Sofyan dari bahaya yang mengancamnya sebagai warga?

Maafkan karena saya tak sanggup berkata-kata lagi. Saya hanya bisa menangis lirih ketika mendengar isak sedih istri dan anak-anak Sofyan di belahan bumi sana. Di negeri ini, tangis sedih menjadi nyanyi sunyi yang terus terabaikan. Tangis sedih tak lagi menggetarkan. Hanya menjadi sebuah dengungan yang setelah itu lenyap. Dan di sana, di Sulawesi Barat, seorang sahabat hanya bisa berbaring di rumah karena tak sanggup menggerakkan tubuh. Di sana, seorang sahabat tengah mengetuk pintu hati kita. Seorang sahabat yang masih sangat muda.(*)


Jakarta, 22 Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar