Kuliner Makassar di Kelapa Gading, Jakarta

SEBERAPA rindukan Anda dengan kuliner Makassar? Seorang kawan menanyakan itu, beberapa hari lalu. Maklumlah, sejak tinggal di Jakarta beberapa tahun lalu, kawan tersebut belum pernah balik ke Makassar untuk melihat suasana dan mencicipi kuliner. Kecintaan kepada kuliner Makassar ibarat bara yang sukar hilang dalam dirinya. Namun, ia selalu memadamkan kerinduan itu dengan cara singgah ke beberapa warung makan yang menyajikan kuliner Makassar di kawasan kelapa Gading, Jakarta.

gerai kuliner Makassar di Kelapa Gading, Jakarta
Jakarta adalah kota yang bertabur etnik. Ini membuka begitu banyak peluang bisnis. Dalam dunia kuliner, banyaknya etnik ini menyebabkan Jakarta dipenuhi dengan aneka kuliner. Banyak pebisnis yang melihatnya sebagai kesempatan untuk mengeruk rupiah. Sosok seperti sahabat saya tidaklah satu orang. Ada begitu banyak manusia yang merindukan asal-muasal serta makanan kampungnya sendiri. Ke manapun kita jauh berkelana, namun lidah dan rasa tetaplah sama. Kita sama merindukan hal-hal yang bisa menautkan dengan tanah air, bumi tempat kita tumbuh dewasa, bumi tempat kita mengenali kebudayaan dan peradaban.

Beberapa bulan lalu, saya pernah bertemu pengamat kuliner Bondan Winarno. Menurutnya, kita sering terlalu khawatir dengan propaganda yang menyebutkan bahwa masuknya kuliner seperti McDonald atau Kentucky Fried Chicken (KFC) akan menenggelamkan kuliner tradisional kita. Malah, banyak juga yang mengkhawatirkan kopi Starbuck yang akan menenggelamkan kopi Toraja atau kopi Bali. Tapi, kata Bondan, pernahkah kita bertanya berapa jumlah gerai makanan impor tersebut? “Jumlah gerai McDonald justru makin menurun. Apalagi Starbuck. Kenapa demikian? Ngapai bayar seratus ribu rupiah untuk segelas kopi yang nikmatnya sama dengan di pinggir jalan. Masyarakat kita berpikir pragmatis. Mereka justru lebih menyenangi makanan tradisional kita sebab sesuai dengan rasa di lidah,” kata Bondan.

Saya sepakat dengan Bondan. Sepanjang Kelapa Gading, saya menyaksikan begitu banyak makanan tradisional khas berbagai daerah. Pengunjungnya membludak, sampai-sampai orang-orang rela antri. Apa yang disebut Bondan dengan rasa di lidah adalah perkara kebudayaan. Dan berbicara kebudayaan, tentu saja kita sedang berbicara tentang pola-pola yang tertanam dalam kepala kita yang kemudian menjadi cara pandang bagi kita dalam melihat dunia. Maka lahirnya konsep enak dan tidak enak adalah konstruksi kebudayaan yang kemudian menjadi semacam template dalam kepala kita. Dalam kasus sahabat saya, ia jauh lebih merindukan makanan Makassar sebab ia tumbuh dan besar serta mengenal konsep enak dan tidak enak melalui makanan tersebut. Ia tidak sekadar mencicipi makanan, namun ia sedang bernostalgia pada masa-masa ketika dirinya mulai mengenal makanan, bernostalgia pada hal-hal kecil yang menyumbang saham dan kontrbusi pada kedewasaan dan kematangannya.

Mungkin itulah yang hendak ditemukannya. Maka hari ini, saya dengan ikhlas –tentu saja dengan senang—bersedia mengantarnya ke Kelapa Gading. Saya senang saja bisa ditraktir makan ikan bolu (bandeng), sop konro, hingga es pisang ijo. Kami sam-sama bernostalgia dengan peluh mengucur usai menyantap ikan bakar. Mau?


Jakarta, 16 Desember 2010

0 komentar:

Posting Komentar