Filsuf Zaman Metropolitan

Dewi Lestari, filsuf zaman metropolitan

 TADI pagi saya menumpang angkutan umum (pete-pete) ke kampus Unhas. Di pintu 1 Unhas, seorang pemuda menumpang pete-pete dan langsung duduk di sebalah pak sopir. Pemuda itu berambut gondrong yang awut-awutan dan kemerahan. Bukan merah sebagaimana rambut Mulan Jameela. Tapi merah karena tidak pernah dibersihkan. Pemuda itu pakai baju kumal, sandal jepit, dan celana sobek. Yang menarik, ia mengepit sebuah buku tebal. Saya membaca judulnya yakni FILSAFAT.

Sepanjang jalan, saya terus-menerus memperhatikannya. Ia turun di dekat Fakultas Peternakan. Saya seperti menyaksikan gambaran tentang diri saya pada masa silam, saat masih berkeliaran di kampus Unhas. Masa muda adalah masa paling menyenangkan. Anda bisa berpenampilan sekumal apapun, tanpa ada yang protes. Sayapun berpikiran demikian. Saya tidak peduli penampilan. Saya jauh lebih peduli pada buku bacaan atau wacana filsafat yang tengah marak.

Pada masa itu, filsafat sangat keren. Filsafat itu seksi. Saya merasa gagah sekali ketika membahas wacana filsafat hingga buat orang terkagum-kagum. Entah apa tujuannya, namun sebagai pemuda yang tengah panas-panasnya bertemu wacana itu, saya selalu merasa kehausan dan ingin membaca. Hasrat saya tak habis-habisnya. Tapi kalau saya renungi pada masa kini, pengetahuan yang pernah didapat justru tak pernah tuntas. Saya mudah hanyut pada gelombang pemikiran baru, sehingga pengetahuan saya sangat parsial. Hanya separuh-separuh. Saya tahu banyak hal, tapi cuma permukaan. Tak pernah masuk pada kedalaman.

Anak muda itu telah menjadi cermin untuk melihat kehidupan saya sebelumnya. Saya pernah menjadi pemuda yang hari-hari adalah wacana filsafat, sehingga penampilanpun menjadi laksana seorang filsuf yang menggelandang di jalan-jalan. Mungkin ini soal persepsi saja. Sebagaimana kata Alwi Rahman yang dikutip dari Chairil Anwar, dulunya filsuf identik dengan gaya hidup menggelandang serupa binatang jalang. Filsuf identik dengan kekumuhan dan penderita penyakit TBC.

Kini, anggapan itu sudah jauh berubah. Di Jakarta, Anda bisa temukan para filsuf pada sosok perempuan seksi beraju mahal dan parfum wangi. Di Jakarta, banyak filsuf dengan sosok secantik Dewi Lestari atau Djenar Mahesa Ayu, dua sosok yang mewakili ikon zaman yang modern dan tampak menawan. Para filsuf yang suka menggelandang di Taman Ismail marzuki (TIM) tinggal cerita. Mereka hanya sibuk menggelandang, tanpa sempat berkontemplasi dan menuliskan refleksi.

Sementara Dewi Lestari tidak demikian. Ia menghasilkan karya-karya yang sarat perenungan filosofis. Tulisan-tulisannya kontemplatif dan diksi bahasanya sangat khas. Mengalir dan enak dibaca. Saya selalu terkagum-kagum dengan kemampuannya mengolah kata. Saya tak menyangka bahwa di zaman seperti ini, muncul sosok cantik yang bersuara merdu dan pandai menyusun kalimat filsafat.

Djenar Mahesa Ayu
Seperti halnya Dewi, demikian pula Djenar Mahesa Ayu. ia juga seorang penulis yang hebat. Karyanya "Mereka Bilang Saya Monyet" menjadi karya yang menjelaskan bahwa Djenar seorang filsuf di zaman metropolitan seperti ini. Tulisan-tulisannya penuh makna dan metafor yang dihamparkan secara acak dan butuh kecerdasan untuk memaknainya. bagi saya, Dewi dan Djenar telah meruntuhkan anggapan bahwa filsuf itu seorang yang gondrong dan kumuh. Keduanya menunjukkan pada kita semua bahwa seorang perempuan yang lahir pada rahim kapitalisme dan peduli kecantikan bisa menjadi seorang filsuf yang hebat. Keduanya adalah pemikir cantik yang menggusur konsepsi tradisional kita tentang kiprah dan tampilan seorang filsuf.

Pada akhirnya para filsuf masa kini bukan lagi di jalan bak pesakitan. Tak hanya artis seperti Dewi Lestari, Mulan Jameela, Ahmad Dhani, atau Katon Bagaskara. Boleh jadi, mereka adalah para direktur di sebuah perusahaan multinasional. Boleh jadi mereka adalah para manajer yang belajar filsafat demi menemukan kejernihan dalam memecahkan masalah, agar terang semua jalan dan keputusan bisnis yang dipilih. Saya jadi ingat salah satu judul buku “Ketika Socrates Menjadi Manajer.”

Anak muda kumal pembawa buku filsafat tadi telah mengajak saya menyusuri lorong masa silam.. Saya jadi menerawang tentang masa-masa belajar filsafat. Sekarang memang saya belum jadi filsuf. Namun, saya disadarkan bahwa ada periode dalam hidup tatkala saya rajin membaca buku-buku filsafat. Anak muda itu adalah potret diri saya di masa silam.(*)

0 komentar:

Posting Komentar