Balada Tiga Filsuf Cantik

tiga filsuf cantik
BEBERAPA hari yang lalu, saya masih berada di Kota Makassar. Suatu hari, saya singgah ke kampus Unhas dengan menggunakan angkutan umum (di Makassar disebut pete-pete) untuk menyelesaikan beberapa urusan. Di pintu 1 Unhas, seorang pemuda menumpang pete-pete dan langsung duduk di sebelah pak sopir. Pemuda itu berambut gondrong yang awut-awutan dan kemerahan. Bukan merah sebagaimana rambut Mulan Jameela. Tapi merah karena tidak pernah dibersihkan. Pemuda itu pakai baju kumal, sandal jepit, dan celana sobek. Yang menarik, ia mengepit sebuah buku tebal. Saya membaca judulnya yakni FILSAFAT.

Sepanjang jalan, saya terus-menerus memperhatikannya. Ia turun di dekat Fakultas Peternakan. Saya seperti menyaksikan gambaran tentang diri saya pada masa silam, saat masih berkeliaran di kampus Unhas. Masa muda adalah masa paling menyenangkan. Anda bisa berpenampilan sekumal apapun, tanpa ada yang protes. Sayapun berpikiran demikian. Saya tidak peduli penampilan. Saya jauh lebih peduli pada buku bacaan atau wacana filsafat yang tengah marak.

Pada masa itu -sebagaimana masa anak muda itu sekarang–, filsafat sangat keren. Filsafat itu seksi. Saya merasa gagah sekali ketika membahas wacana filsafat hingga buat orang terkagum-kagum. Entah apa tujuannya, namun sebagai pemuda yang tengah panas-panasnya bertemu wacana itu, saya selalu merasa kehausan dan ingin membaca. Hasrat saya tak habis-habisnya. Tapi kalau saya renungi pada masa kini, pengetahuan yang pernah didapat justru tak pernah tuntas. Saya mudah hanyut pada gelombang pemikiran baru, sehingga pengetahuan saya sangat parsial. Hanya separuh-separuh. Saya tahu banyak hal, tapi cuma permukaan. Tak pernah masuk pada kedalaman.

Anak muda itu telah menjadi cermin untuk melihat kehidupan saya sebelumnya. Saya pernah menjadi pemuda yang hari-hari adalah wacana filsafat, sehingga penampilanpun menjadi laksana seorang filsuf yang menggelandang di jalan-jalan. Mungkin ini soal persepsi saja. Sebagaimana kata seorang sahabat, yang dikutip dari Chairil Anwar, dulunya filsuf identik dengan gaya hidup menggelandang serupa binatang jalang. Filsuf identik dengan kekumuhan dan penderita penyakit TBC.

Benarkah demikian tampilan seorang filsuf? Saat hijrah ke Jakarta, saya sadar bahwa anggapan itu salah besar. Di Jakarta, Anda bisa temukan para filsuf pada sosok perempuan seksi beraju mahal dan parfum wangi. Saya menemukan banyak perempuan muda, dinamis, cantik dan seksi yang menggemari wacana filsafat. Saya mengenal beberapa sosok. Di mobil mereka, sering saya temukan buku-buku bacaan berkelas seperti Marx, Nietzsche, atau bacaan sastra semacam Pramoedya Ananta Toer. Makanya saya mengubah image yang sudah lama tertanam di kepala saya bahwa wanita cantik identik dengan kedangkalan. Ternyata anggapan itu salah besar. Justru banyak wanita cantik dengan parfum wangi yang menggemari wacana filsafat, sebuah wacana yang sempat didominasi para penggelandang.

Filsuf Cantik

Anda bisa menemukan para filsuf itu pada sosok secantik Dewi Lestari, Djenar Mahesa Ayu, dan Dian Sastro. Merekalah sosok yang mewakili ikon zaman yang modern dan tampak menawan. Merekalah para filsuf yang bisa ditemukan di tengah glamouritas dan dunia sosialita manusia modern. Mereka produktif dan menunjukkan kepada banyak orang bahwa di tengah dunia selebritis, mereka tetap bisa menghasilkan butiran-butiran pemikiran yang menjadi penanda zaman modern kita. Mereka tidak larut dalam dunia modern, namun merefleksikan zaman dengan caranya sendiri-sendiri. Jika Dewi lestari melalui novel dan tulisan mencerahkan, maka Djenar melalui cerpennya yang hendak menelanjangi dunia sosial kita. Para filsuf yang suka menggelandang di gedung kesenian tinggal cerita. Filsuf gondrong hanya sibuk menggelandang, tanpa sempat berkontemplasi dan menuliskan refleksi.

Dewi Lestari saat peluncuran Recto verso
Saya membaca rata-rata buku karya Dewi Lestari. Ia menghasilkan karya-karya yang sarat perenungan filosofis. Tulisan-tulisannya kontemplatif dan diksi bahasanya sangat khas. Saya paling suka esai pendek yang ditulis di blog pribadinya (alamatnya DI SINI). Tulisannya mengalir dan enak dibaca. Saya selalu terkagum-kagum dengan kemampuannya mengolah kata. Saya tak menyangka bahwa di zaman seperti ini, muncul sosok cantik yang bersuara merdu dan pandai menyusun kalimat filsafat.

Ia seorang selebritis (mungkin ia menolak sebutan ini) yang menggemari wacana filsafat. Inilah yang luar biasa. Tak hanya piawai menyanyi di kafe-kafe atau di depan televise, ia amat pandai mengolah kata. Mulanya ia dicemooh. Tapi saat meluncurkan Supernova, Petir, Akar, Filosofi Kopi, hingga novel Perahu Kertas, ia mulai menempati posisi istimewa.

Demikian pula Djenar Mahesa Ayu. ia juga seorang penulis yang hebat. Buku pertama Djenar yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, selain juga telah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Cerpen “Waktu Nayla” menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen “Asmoro” dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu.

Djenar Mahesa Ayu
Djenar seorang penulis cerpen yang cukup produktif. Salah satu cerpennya “Menyusu Ayah” dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan. Buku keduanya, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) juga meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan pada bulan Februari 2005. Kumpulan cerpen berhasil ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004.

Dian Sastro
Anda juga akan terkejut bisa bertemu filsuf cantik Dian Sastrowardoyo. Perempuan ini dikenal sebagai aktris berbakat yang penuh dengan totalitas. Hobinya adalah membaca, nonton dan segala sesuatu yang berkaitan dengan seni. Menganut agama Islam setelah sebelumnya menjadi penganut Katolik. Selain sebagai aktris ia pernah memiliki rubrik sendiri di majalah GADIS yang bernama Kata Dian, di rubrik tersebut ia menyalurkan bakat menulisnya dan berkomunikasi dengan pembaca majalah Gadis. Ia adalah lulusan jurusan filsafat FIB UI yang tak jarang dimintai bantuan sebagai asisten dosen oleh para seniornya. Skripsinya di Jurusan Filsafat UI membahas fenomena kecantikan yang amat dipengaruhi industry kosmetik. Menurut Dian, media berperan utama dalam membentuk persepsi kecantikan. Dalam skripsi sarjananya, Dian menjelaskan bahwa definisi kecantikan Indonesia identik dengan kulit putih dan rambut panjang yang sebenarnya lebih mirip dengan kecantikan khas kaukasia. “Saya berharap kita bisa meredefinisi kecantikan Indonesia, bahwa cantik itu tidak harus seperti bangsa lain tetapi seperti kita,” kata Dian.

Lesson Learned

Bagi saya sendiri, Dewi, Djenar, dan Dian telah meruntuhkan anggapan bahwa filsuf itu seorang yang gondrong dan kumuh. Keduanya menunjukkan pada kita semua bahwa seorang perempuan yang lahir pada rahim kapitalisme dan peduli kecantikan bisa menjadi seorang filsuf yang hebat. Mereka adalah pemikir cantik yang menggusur konsepsi tradisional kita tentang kiprah dan tampilan seorang filsuf.

Hikmahnya adalah filsafat bukan lagi satu wacana yang angker dan mengerikan. Filsafat adalah wacana yang bisa dibaca dan dikonsumsi oleh siapa saja, apapun profesi dan aktivitas hariannya. Pada akhirnya para filsuf masa kini bukan lagi di jalan bak pesakitan. Tak hanya artis seperti Dewi Lestari, Mulan Jameela, Ahmad Dhani, atau Katon Bagaskara. Boleh jadi, mereka adalah para direktur di sebuah perusahaan multinasional. Boleh jadi mereka adalah para manajer yang belajar filsafat demi menemukan kejernihan dalam memecahkan masalah, agar terang semua jalan dan keputusan bisnis yang dipilih. Saya jadi ingat salah satu judul buku “Ketika Socrates Menjadi Manajer.”

Anak muda kumal pembawa buku filsafat tadi telah mengajak saya menyusuri lorong masa silam.. Saya jadi menerawang tentang masa-masa belajar filsafat. Sekarang memang saya belum jadi filsuf. Namun, saya disadarkan bahwa ada periode dalam hidup tatkala saya rajin membaca buku-buku filsafat. Anak muda itu adalah potret diri saya di masa silam yang menganggap filsafat sebagai proses menggembel dan berkontemplasi, meskipun tak pernah menghasilkan satupun karya.(*)


Jakarta, 21 September 2010

www.timurangin.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar