Panggil Aku Cina!!!

Gong Li
MEI LING (19) sedang berdoa dengan khusyuk di satu klenteng di Makassar. Jemarinya mengenggam hio yang mengepulkan asap tipis. Selama beberapa menit wanita yang berparas seperti aktris Gong Li itu berdoa dengan tenang. Matanya terpejam dan mulutnya sesekali komat-kamit. Setelah itu, ia keluar ruangan lalu singgah di rental Odiva yang terletak tak jauh dari klenteng tersebut. Ia memilih-milih film sebelum akhirnya menyewa film The Forbidden Kingdom yang dibintangi Jet Lee dan Jackie Chan.

Ayah Mei Ling memiliki beberapa kios di Pasar Sentral Makassar. Biasanya, sepulang berdoa, Mei Ling kembali menjagai toko tersebut sebagai pengisi waktu luang di sela-sela aktivitasnya sebagai mahasiswa di Universitas Atmajaya Makassar. Namun, di kampus namanya bukanlah Mei Ling. Nama Mei Ling hanya digunakan di rumah saja serta dalam lingkungan terbatas. Di kampus, ia menyandang nama Angelique Wijaya, nama yang juga tertera di akte kelahiran dan kartu tanda penduduk (KTP) Makassar. Sebagai warga keturunan Tionghoa, Mei Ling tak tahu banyak tentang sejarah. Ia tak paham bahwa kaumnya dulu dilarang menggunakan nama bernuansa Tionghoa. Mereka sempat dipaksa menjadi warga Indonesia, melalui apa yang disebut politik pembauran.

Sejak Orde Baru bertahta, warga Tionghoa seperti Mei Ling dilarang mengenakan segala atribut yang menunjukkan identitas kulturalnya. Pemerintah Orba melarang segala bentuk representasi identitas Tionghoa sebab didera kekhawatiran akan membangun jaringan dengan Cina sebagai negara komunis. Sekolah Tionghoa ditutup. Mereka dipaksa untuk ganti nama dengan nama lain yang tidak bernuansa Cina. Selama 32 tahun, mereka tak punya pilihan dan harus menjelma menjadi sosok lain. Bahkan ketika detik-detik Orde Baru tumbang, toko-toko milik keluarga Tionghoa dirampok dan dibakar. Lebih dari 150 wanita Tionghoa diperkosa secara massal, tetapi wanita-wanita ini kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas atau bukti kekejaman.

Sejarah kaum Tionghoa adalah sejarah yang selalu terabaikan dalam republic ini. Mereka menguasai kekuatan ekonomi, namun di saat bersamaan juga mengalami diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Meskipun setelah reformasi yakni pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), keberadaan mereka sudah diakui, namun tetap menyisakan pertanyaan bagaimanakah strategi mereka untuk mengembalikan identitas Tionghoa yang selama ini diredam? Apakah identitas itu justru terkubur ataukah mengalami pemaknaan baru secara terus menerus? Saya sering bertanya-tanya dalam hati, jika di masa Orba mereka menolak dipanggil Cina, apakah ketika keberadaan mereka diakui dan sama dnegan etnik lain, mereka justru meminta dipanggil Cina?

Saya memelihara pertanyaan itu selama beberapa waktu. Secara teoritik, jika identitas cultural seseorang diredam atau dibendung selama bertahun-tahun, maka mereka akan menjelma menjadi sosok baru yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam bayangan saya, pastilah identitas kecinaan sudah lama pudar sebab direpresi dengan segala cara oleh pemerintah Orba. Benarkah demikian?

“Tidak. Orang tua saya memang marah kalau dipanggil Cina. Tapi tidak dengan saya dan teman-teman. Justru saya bangga sebagai warga Tionghoa. Saya senang dipanggil Cina sebab saat Cina adalah negara yang besar dan maju,” kata Mei Ling saat berbincang di Pantai Losari, Makassar.

Diskusi ini membangkitkan keingintahuan saya. Bagi wanita berparas cantik ini, nasionalismenya tidak perlu dipertanyakan. Ia mencintai bangsa ini sebab lahir dan besar di sini. Namun, tak seperti generasi sebelumnya, ia justru menerima identitas kecinaannya sebagai sesuatu yang wajar dan membersitkan rasa bangga. Yang mencengangkan saya, sebagai generasi yang justru sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di daratan Tiongkok, ia tetap memelihara benang merah jiwanya dengan daratan Tiongkok. Meskipun itu dirajutnya dalam angan-angan.

Gong Li dalam satu film

Selama beberapa waktu saya didera pertanyaan ini. Hingga akhirnya saya membaca riset yang dilakukan Aimee Dawis PhD di New York University yang berjudul The Chinese of Indonesia and Their Search for identity. Riset ini telah ditermahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Orang Tionghoa Mencari Identitas (Gramedia 2009). Kata Dawis, meskipun mengalami represi atau tekanan pada masa Orba, namun warga Tionghoa masih bisa mengekspresikan kecinaaannya melalui kegandrungan pada serial atau film kungfu. Ternyata, identitas itu mengalami pemaknaan terus sebab senantiasa di-refresh melalui medium cultural seperti film. Walaupun film dan media komunikasi bukanlah satu-satunya penjelas, namun tak bisa dipungkiri, media itu telah membentuk jati diri dan identitas.

Kedengarannya ini menggelikan. Namun, kesukaan atas film tersebut telah merajut kembali imajinasi atau angan-angan mereka tentang kecinaan, menghadirkan rasa bangga yang menyelusup di hati, serta membentuk jati diri mereka sebagai Tionghoa. Ternyata film-film mandarin telah membentuk identitas, memetakan asal-usul dan memelihara kesadaran jati diri kolektif. Film dan berbagai media komunikasi lainnya telah menyediakan cara bagi kelompok ini untuk menempatkan ulang konteks, tradisi dan sejarah mereka sehingga menjadi benang merah yang mempertautkan mereka dengan identitasnya.

Kelihatannya ini sepele bagi sebagian orang. Sayapun menganggapnya demikian. Namun pengalaman saya bertemu dengan Mei Ling yang saban hari rajin menonton film mandarin, mengikuti serial The Legend of Condor Heroes, hingga membaca buku silat terbaru dari serial To Liong To telah membentuk ingatan kolektif atau tanah air bayangan (mythic homeland) yang menumbuhkan identitas batau kebanggaannya pada segala hal yang berbau Tionghoa. Inilah kekuatan media massa yang membangkitkan angan-angan kolektif tersebut.

Pantas saja jika saat ini sedang terjadi titik balik dari identitas Tionghoa. Jika dulunya mereka malu-malu disapa Cina, kini generasi yang lebih muda seperti Mei Ling justru percaya diri dan tanpa malu mengatakan, “Panggil Aku Cina…!!!”


CATATAN
Tulisan ini dipersiapkan untuk tayang di kompasiana

1 komentar:

Anonim mengatakan...

demokrasi telah lahir dan berusaha menuju titik kematangan. inilah momentum untuk memperjelas identitas kultural

Posting Komentar