Petualangan Putra Poseidon

SELAMA ini kita selalu dijejali informasi bahwa mitos adalah sesuatu yang irasional dan hanya hidup dalam imajinasi. Mitos adalah sesuatu yang sudah lama terkubur dalam dinamika berpikir manusia hari ini. Namun, saat membaca novel serial Percy Jackson and The Olympians yang berjudul The Lightning Thief, semua mitos hidup kembali dan menjelajah di dunia modern.

Saya membaca novel ini dengan penuh keasyikan. Sejak serial Harry Potter berakhir, saya jarang menemukan novel yang penuh imajinasi. Saya jarang menemukan novel penuh fantasi yang menerbangkan pikiran kita ke angkasa tak berbatas. Padahal, dengan prestasi Harry Potter yang mencatatkan dirinya sebagai buku terlaris di abad ini, mestinya para pengarang dan penerbit menyadari betapa menggiurkannya memproduksi novel fantasi yang penuh imajinasi.


Novel serial Percy Jackson & The Olympians yang buku pertamanya berjudul The Lightning Thief ini berada pada jalur yang sama dengan Harry Potter. Mulanya saya menganggap serial ini hendak menjiplak tokoh ciptaan JK Rowling tersebut. Namun setelah membaca sampai tuntas, saya berkesimpulan bahwa novel ini memiliki karakter dan kekuatan sendiri. Kalaupun ada mirip, maka itu hanya nampak pada bagian awal saja. Kekuatannya adalah karena hendak mencampuradukkan antara mitos dan realitas hari ini dalam satu kronologis yang menegangkan dan penuh petualangan. Pantas saja jika novel ini banyak mendapatkan pengharagaan. Bahkan dalam situs amazon.com, novel ini juga mencatatkan dirinya sebagai salah satu novel terlaris pada tahun 2005 lalu.

Novel ini berkisah tentang Percy Jackson -- dua belas tahun, penderita disleksia -- hampir dikeluarkan dari sekolah asramanya. Tanpa disadarinya, ternyata ia adalah putra Poseidon, dewa laut, salah satu dari tiga dewa terkuat dalam mitologi Yunani. Selanjutnya ia menemui banyak masalah. Monster-monster dan dewa-dewi dari Gunung Olympus tampaknya berebutan keluar langsung dari buku pelajaran Sejarah Yunani milik Percy. Lebih parah lagi, Percy telah membuat beberapa di antara mereka marah besar. Petir asli milik Dewa Zeus telah hilang dicuri, dan Percy adalah tersangka utamanya.

Percy dan dua orang kawannya hanya punya waktu sepuluh hari untuk mencari dan mengembalikan benda keramat tersebut dan mendamaikan kembali perang yang hampir pecah di Gunung Olympus. Tetapi tantangannya jauh lebih berat dari itu, Percy akhirnya harus berhadapan dengan kekuatan mengerikan yang bahkan lebih hebat dibandingkan para dewa sendiri.

Saya membaca novel ini selama seharian, tanpa henti. Selama ini, saya cukup paham tentang mitos-mitos Yunani, tentang para dewa, monster dan kekuatannya. Tiba-tiba, saat membaca novel ini, semua tokoh itu hidup kembali. Mereka tidak pernah mati sebab senantiasa mengalami transformasi dan perpindahan. Mereka mengikuti pusat-pusat peradaban. Ketika Yunani menjadi titik pusat, mereka tinggal di Yunani. Namun ketika Romawi menjadi pusat peradaban, para dewa itu lalu berumah di Romawi. Jika di masa kini, Amerika Serikat (AS) yang menjadi pemimpin dunia, maka semua dewa itu lalu pindah pula ke AS dan berbaur dengan kehidupan modern, tanpa identitasnya diketahui dengan pasti oleh semua orang.

Pada mulanya, Percy tidak percaya dengan semua mitos itu. Tapi, sang guru –yang ternyata adalah Centaur—justru meyakinkan Percy dengan mengatakan bahwa apa yang hari ini dianggap sebagai sains, maka 500 tahun berikutnya bisa menjadi mitos. Dan semua mitos Yunani itu tidak terkubur, namun tetap hidup di abad modern. Makanya, dalam novel ini kita kembali bertemu dengan petualangan Percy bertemu dan berkelahi dengan para dewa seperti Ares (Dewa Perang), Hades (Dewa Penguasa Dunia Kematian), ataupun para monster seperri Medusa, Minotaur, dan Chimera. Untunglah, Percy sebagai Putra Poseidon, dibantu sahabat karibnya Annabeth, putri Dewi Athena (Dewi Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan). Kecerdasan Annabeth mengingatkan pada sosok Hermione Granger, sahabat dekat Harry Potter.

Bagi saya, novel ini sangat cerdas dan alurnya mengasyikkan. Mungkin karena pengarangnya adalah seorang guru sejarah yang notabene sangat memahami semua sejarah dan mitos Yunani. Meski novel tak pernah benar-benar menggantikan Harry Potter, namun saya menemukan lagi keasyikan membaca novel imajinasi, sebagaimana dulu ketika saya membaca serial Harry Potter. Sebagai novel petualangan, novel ini berhasil menyihir saya sehingga keesokan harinya saya lalu membeli tiga novel lanjutan The Lighting Thief yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia, yakni The Sea Monster, The Titan’s Curse, serta The Battle of Labirynth. Mudah-mudahan edisi terakhir yakni The Last Olympians bisa segera terbit.(*)

2 komentar:

kokorobby mengatakan...

Poseidon tuh gak kalah hebatnya sama 2 saudara dia yang lainnya


Kunjungi website kami di walisongo.ac.id

KudaLucu mengatakan...

Thank you for the article!

Posting Komentar