Dahaga yang Tak Terpuaskan


BELAKANGAN ini, minat baca saya sedang di puncak-puncaknya. Hampir tiap minggu saya beli buku baru. Itu belum cukup, saya juga seolah menjadi pelanggan (karena rajin membeli secara eceran) beberapa majalah seperti Tempo, Intisari, National Geographic, dan Traveler. Itupun saya merasa kurang, padahal setiap hari saya rajin membaca Kompas dan beberapa media lokal. Rasa dahaga saya pada bacaan baru lagi di puncak-puncaknya. Setiap membaca sesuatu, rasa tidak puas kembali datang sehingga saya akan membeli edisi berikutnya.

Saya tak peduli bahwa demi memenuhi rasa puas itu saya mesti menghabiskan banyak uang. Saya tak peduli, deposit ATM-ku semakin terkuras karena bacaan-bacaan tersebut. Nilai buku atau majalah itu tak sebanding dengan kerja keras para penulisnya untuk menghadirkan sebuah bacaan yang bermutu bagi khalayaknya. Lihat saja edisi National Geographic yang terbaru. Liputannya tentang satu suku di belantara Afrika yang tidak pernah berdusta dan mempertahankan cara hidup tradisionalnya. Andaikan saya datang langsung melihat suku tersebut, betapa mahalnya ongkos yang saya keluarkan. Namun cukup membeli National Geographic seharga Rp 50.000, maka keingintahuan itu segera terjawab.

Kalau saya perhatikan buku-buku yang saya beli selama sebulan terakhir, kebanyakan adalah buku-buku fiksi atau sastra. Padahal minat saya bukan cuma sastra saja, akan tetapi pada buku-buku tentang ilmu sosial. Sayangnya, saya tidak banyak menemukan buku-buku baru di bidang ilmu sosial. Sebagaimana pernah saya katakan di blog ini, produktivitas ilmuwan sosial di tanah air kita amat sangat rendah, jika dibandingkan produktivitas para penulis fiksi. Buktinya, saat ke toko buku Gramedia di Makassar, rak yang memajang karya ilmu sosial hanya satu saja, sementara tak yang memajang karya fiksi berjumlah puluhan.

Jangan-jangan, problemnya terletak pada percetakan dan toko buku. Mereka hanya mau mencetak atau menjual buku-buku yang laku di pasaran saja. Tapi masalahnya, apa sih definisi pasaran tersebut? Bukankah mereka yang bergerak di lapangan ilmu sosial juga bisa menjadi pasar yang baik untuk buku-buku sejenis?

Mungkin masalahnya bukan cuma produktivitas para ilmuwan sosial yang rendah, namun juga kemampuan membaca yang rendah. Masyarakat penggiat ilmu sosial tak begitu suka memperluas wawasannya. Mereka cukup puas mendapat pendidikan di bangku perguruan tinggi, tanpa mengasahnya dengan bacaan-bacaan baru yang lebih segar. Mereka juga tidak tertarik untuk menuliskan dengan tekun semua buah-buah pikirannya hingga menjadi inspirasi bagi banyak orang. Rasa cepat puas itu adalah jurang terjal yang akan menelan mereka pada situasi kepongahan tentang diri yang hebat, dan kelak akan menjadi krisis yang mendera.

Tapi saya tak mau ikut-ikutan larut. Saya mau membaca sebanyak-banyaknya dengan sikap yang tidak pernah puas.(*)



0 komentar:

Posting Komentar