Setan Makassar Versus Mantra Buton


INI adalah sepenggal kisah yang saya dapatkan dari Bapak Muliadi Mau, dosen Fisip Unhas. Saya bertemu dengannya saat melayat meninggalnya ayah seorang kawan di Rumah Sakit Wahidin. Muliadi bercerita pengalamannya yang menarik untuk dibahas lebih jauh. Saya terpingkal-pingkal mendengar kisahnya, namun saya juga memikirkan sesuatu yang menarik di balik cerita itu.

Suatu waktu, kata Muliadi, ia bersama anak kecilnya yang berusia sekitar 4 tahun, jalan-jalan di dekat danau Unhas. Sepulang dari situ, anaknya langung sakit panas serta tak henti menangis. Muliadi lalu mengkompres dan memberikan obat panas, namun tak juga mempan. Ia lalu membawanya ke seorang dokter anak yang cukup tenar di Makassar. Ketika sang dokter melihat anak itu, ia lalu meminta Muliadi untuk pulang mencari dukun. “Ini namanya kapinawangan... Cari orang pintar. Dia yang tahu cara obati sakit ini. Bukan dokter!” kata dokter tersebut.


Andaikan pernyataan itu disampaikan seseorang yang bukan berlatar kedokteran, mungkin Muliadi tidak percaya. Namun ini justru disampaikan seorang dokter yang cukup berpengaruh di Makassar. Saat itu, Muliadi tiba-tiba ingat kalau mertuanya baru saja datang dari Buton. Kebetulan, mertuanya adalah seorang sakti mandraguna yang cukup dikenal di Tanah Buton. Di masa Kesultanan Buton, mertuanya menjadi bonto atau kepala distrik di kawasan Mawasangka, yang dijuluki Bontona Lantongau. Kesaktiannya tersohor ke pelosok negeri Buton.


Dengan penuh semangat, Muliadi pulang dan menemui mertuanya agar segera membacakan mantra. Mertuanya lalu tafakur dan merapal beberapa mantra yang dikuasainya. Setelah beberapa saat, mertua sakti ini lalu berkata, “Saya tidak bisa atasi setan ini. Saya tidak mengerti bahasa yang digunakannya. Dia pake bahasa Makassar, smeentara saya pakai bahasa Buton. Coba cari orang Makassar untuk obati anak ini.“


Muliadi kembali stres berat. Di tengah malam begitu, di mana harus mencari dukun sakti asal Makassar. Haruskah ia langsung ke Takalar atau Jeneponto untuk menemukan dukun demi mengobati anaknya? Di tengah bimbangnya, sorang tetangga lalu membisikinya sesuatu. Ternyata, tak jauh dari situ tinggal seorang penjual sayur yang dikenal cukup sakti. Setelah penjual sayur itu datang, ia langsung merapal mantra, dan menyapukan air di wajah anak itu. Saat itu juga, sang anak langsung sembuh.


Bagian paling menarik dari kisah ini adalah batasan etnik dan kebudayaan juga berlaku di dunia gaib. Ternyata, para makhluk gaib juga mengenal suku bangsa sehingga ketika sang dukun hendak berkomunikasi dengannya, harus mengerti bahasa sang mahluk gaib. Buktinya, ketika mertua Muliadi mengeluarkan mantra Buton, ternyata sang mahluk gaib tidak mengerti bahasanya. Ketika Muliadi mendatangkan dukun asal Makassar, barulang setan tersebut kabur dari tubuh si anak kecil.


Saya sempat berseloroh. Jika demikian halnya, tentunya kita bisa menalukan riset tentang etnografi mahluk gaib. Kita bisa memposisikan dunia gaib sebagai frontier yang dijelajahi dan dilukiskan dengan narasi. Sayangnya, dunia gaib adalah dunia yang subyektif. Kita tak pernah mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, selain mendengarkan kesaksian sejumlah orang tentang apa yang terjadi di situ. Makanya, jika dilakukan riset, pastilah akan tidak mudah menggambarkannya.


Nah, seperti apakah gambaran tentang dunia gaib? Pertanyaan ini pernah saya tujukan ke beberapa orang. Seorang teman yang beretnis Bugis menggambarkan hantu atau setan sebagaimana gambaran orang tua Bugis. Sedangkan seorang teman yang beragama Kristen menggambarkan setan memakai jas serta bergigi taring seperti drakula. Teman yang etnis Tionghoa menggambarkan setan memakai pakaian klasik Cina serta rambut dikuncir. Lain lagi dengan teman asal Jawa.


Kesimpulannya adalah kita melihat dunia gaib sebagaimana preferensi kultural yang kita miliki. Gambaran tentang dunia gaib seperti setan atau hantu, tak pernah lepas dari sosok yang menggambarkannya. Jika yang menggambarkannya adalah seorang Bugis yang besar dengan mitos-mitos dan syair Bugis, ia akan menggambarkan setan sebagaimana yang pernah diimajinasikannya.


Setan adalah produk kebudayaan. Setan bisa menjadi jendela awal bagi kita untuk memasuki jantung sebuah kebudayaan. Sebab setan akan menunjukkan preferensi kultural dari seseorang yang mengaku pernah menyaksikannya.(*)



0 komentar:

Posting Komentar