Dialog Antropologi dan Sejarah

SAYA ingin menuliskan isu teoritis yang membayang-bayangi penelitian saya tentang Ingatan Yang Menikam: Orang Buton Memaknai Tragedi PKI 1969. Isu teoritis yang dibahas dalam penelitian itu adalah adalah hubungan antara antara antropologi dan sejarah. Saat memulai penelitian, saya agak bingung bagaimana memposisikan pendekatan antropologi dan sejarah. Saat konsultasi dengan pembimbingku, saya selalu menemukan pertanyaan, “Ini karya antropologi ataulah sejarah?“ Tulisan ini adalah refleksi singkat saya setelah membaca literatur yang tidak terlalu banyak. Semoga refleksi ini ada gunanya dan bisa dikembangkan lagi.

Dalam karya Comaroff (1992) berjudul Ethnography and Historical Imagination, saya menemukan bagaimana hubungan antropologi dan sejarah. Comaroff mengatakan, antropologi dan sejarah laksana dua kembar (twins) yang saling berkaitan sejak masa silam. Sementara dalam karya sejarawan Peter Burke, disebutkan juga bahwa sejak dulu, antara antropolog dan sejarawan saling menginspirasi dan memberi warna pada pendekatan masing-masing. Jika dalam ilmu sejarah dikenal disiplin Sejarah Kebudayaan, maka di antropologi juga dikenal istilah Antropologi Sejarah.

Antropologi lazimnya mengkaji suatu komunitas dengan pendekatan sinkronik, yaitu seperti membuat pemotretan pada momentum tertentu mengenai berbagai bidang atau aspek kehidupan komunitas sebagai bagian dari suatu kesatuan atau sistem. Antropologi menjelaskan tentang lembaga, pranata dan sistem yang kesemuanya akan dapat diterangkan secara lebih jelas bila diungkapkan bahwa struktur itu adalah produk dari suatu perkembangan di masa lampau. Kesemua struktur itu adalah produk historis dan hanya dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak sejarah perkembangannya. Sementara sejarah didekati dengan pespektif diakronik yang melihat urutan kejadian sebagai rentetan sebab-akibat. Proses sinkronik diabaikan sehingga iteraksi antar unsur dalam satu sistem diabaikan. Ini tidak terjadi jika sejarah menggunakan perspektif antropologi dalam studinya (Kartodirdjo 1993). Artinya, baik antropologi dan sejarah bisa saling belajar dan memperkaya.

Sejarah bisa belajar dari antropologi tatkala menautkan sebuah peristiwa sejarah itu dalam dunia makna yang melibatkan interaksi antara subyek sejarah dan realitas yang dihadapinya. Peristiwa itu tidak cuma menjadi kejadian biasa saja, namun memiliki “nyawa“ yaitu bagaimana manusia menyaksikan dan mengalami peristiwa tersebut. Sementara antropologi bisa belajar dari sejarah dalam hal mengungkapkan genealogi atau asal muasal dari realitas sosial di masa kini. Antropologi bisa menelusuri dinamika hari ini bukan sebagai sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit, melainkan merupakan kontinuitas dari sebuah proses sejarah yang panjang hingga hari ini.

Salah seorang antropolog yang banyak membahas isu sejarah ini adalah Clifford Geertz (1990)i. Baginya, pendekatan antropologi kerap menantang pendekatan sejarah karena penekanannya pada hal yang “biasa-biasa” saja dalam pemahaman kebanyakan sejarawan. Pendekatan antropologi yang memandang hal-hal remeh-temeh (mundane), biasa-biasa, serta keseharian (everyday life) --misalnya sabung ayam (cockfight), uang mahar (dowry), pembantaian babi-- yang dianggap bergerak menjauh dari “isyu-isyu yang mengguncangkan dunia” sebagaimana sering dibahas para sejarawan yaitu para kaisar, raja, pemikir, ideologi, kelas, kasta, maupun revolusi. Masih kata Geertz, hubungan dua ranah ilmiah ini dulunya jarang akur. ii

Penjelasan Geertz ini hanya bisa dipahami ketika melihat situasi sebelum tahun 1970-an, tatkala masyarakat masih heterogen dan batasan ilmiah masih sedemikian ketat. Namun seiring gelombang post-modernisme yang menerabas tembok ilmiah, maka batasan tersebut perlahan mengabur. Para sejarawan mulai berpaling pada hal-hal yang bersifat mikro. Tidak semua sejarawan tertarik membahas hal-hal yang makro dan narasi besar. Kian memudarnya pandangan positivistik yang berhasrat untuk menjelaskan sesuatu secara umum, menyebabkan sejarawan mulai tertarik dengan hal yang kecil dan sudut pandang rakyat biasa dalam satu perubahan sejarah.iii

Batas antara the self dan the otheryang dalam pahaman sains positivistik dibedakan secara tegas-- perlahan mulai mengabur. Ketertarikan pada “the other” yang selama ini tidak dianggap penting oleh sejarah menyebabkan mereka mulai menggunakan berbagai pendekatan antropologi untuk mengamati peristiwa. Antara sejarah dan antropologi kemudian saling belajar dan mengispirasi sehingga banyak yang menilai kalau dua ilmu ini sesungguhnya bisa digabung menjadi satu.

Pendapat ini dikemukakan oleh Evans Pritchard (1963). Puluhan tahun silam, Pritchard mengeluarkan pernyataan yang provokatif tentang penggabungan antropologi dan sejarah. Pritchard mengatakan, “Anthropology must choose beetwen being history and being nothing. History must choose beetwen being social anthropology or being nothing“ (antropologi harus memilih antara menjadi sejarah dan tidak menjadi apa-apa. Sejarah juga harus memilih antara menjadi antropologi sosial, ataukah tidak menjadi apa-apa). Pernyataan ini dikemukakannya setelah melihat fakta adanya banyak konvergensi antara pendekatan antropologi dan sejarah. Kedua disiplin ini sama-sama membahas tentang hal-hal yang detail dari satu masyarakat. Baik antropologi maupun sejarah sama-sama membahas hal-hal yang unik dan ideografis dari suatu masyarakat. Ada dua isu penting yang hendak dikemukakan antropolog ini. Pertama, tidak ada satu tatanan sosial yang bisa dianalisis secara memadai tanpa melihat dinamika internal dari tatanan tersebut. Kedua, komunitas yang selama ini dikaji para antropolog telah mengalami pergeseran dan terintegrasi ke dalam masyarakat yang lebih luas dengan dinamika sejarah yang lebih kompleks. Meskipun Pritchard tidak menganalisis isu ini dengan memadai dalam etnografinya, namun ia sudah membawa satu diskusi teoritis tentang reunifikasi dari dua bidang ilmu yaitu sejarah dan antropologi.

Saya sepakat dengan pernyataan Pritchard tentang dinamika internal dari suatu masyarakat. Jika selama ini sejarah banyak fokus pada penceritaan kejadian atau peristiwa, maka antropologi justru banyak mengamati bagaimana peristiwa tersebut ditempatkan pada konteks sosial yang lebih luas, bagaimana suatu kejadian diletakkan dimaknai oleh subyek yang menyaksikan kejadian itu. Dinamika sosial dan interaksi antara aktor dan struktur ini adalah ranah kajian antropologi. Hanya saja, dinamika itu bisa dipahami tatkala kita menarik mundur ke belakang dan merunut ulang bagaimana asal muasal dari dinamika tersebut. Menarik mundur ke belakang ini adalah sumbangsih berharga dari disiplin ilmu sejarah. Ilmuwan sejarah memiliki metodologi yang cukup canggih untuk menganalisis semua fakta dan sumber sejarah. Mereka sanggup memilah-milah mana fakta dan sumber sejarah. Namun saya tidak bersepakat dengan Evan Pritchard mengenai pernyataan provokatifnya tentang penggabungan antropologi dan sejarah. Saya tetap memposisikan keduanya sebagai hal yang berbeda. Jika sejarah tetap menekankan bagaimana peristiwa serta kejadian di masa lalu, maka antropologi menjelaskan dua hal: (1) bagaimana masyarakat memahami dan mengkonstruksi sejarahnya. (2) Bagaimana pengkonstruksian tersebut bisa dipertahankan dalam kebudayaan. Jadi, tetap saja tidak ada isu metodologis tentang penggabungan tersebut.

Penelitian yang hendak saya dilakukan dengan perspektif antropologi, meskipun di sana-sini terdapat pengayaan data sejarah. Data sejarah itu digunakan untuk mendapatkan kedalaman historis atas gejala yang hendak saya saya amati. Tanpa kedalaman historis itu, maka saya akan kesulitan untuk menjelaskan apa yang menyebabkan para korban PKI itu mengalami trauma, serta ketakutan hingga kini. Konsep yang relevan dalam kajian ini adalah konsep kesejarahan. Kesejarahan adalah bagaimana warga lokal memaknai sejarahnya serta dinamika yang ada dalam stuktur internalnya.iv Saya memandang kesejarahan sebagai cara-cara bagaimana orang Buton memberi makna pada sejarahnya sendiri serta bagaimana mereka mempolakan pengetahuan itu secara kultural. Pemaknaan itu dilakukan berdasarkan ingatan-ingatan atas dinamika masa silam, baik ingatan yang bersifat pasif (diwariskan), maupun ingatan yang bersifat aktif atau ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa kini. Historisitas bukanlah sejarah. Saya melihatnya sebagai “rasa sejarah”, semacam pembalikan dari sejarah yang lebih banyak berisikan himpunan kejadian di masa silam yang dijerat dalam naskah baik naskah lokal, maupun naskah yang tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Kesejarahan adalah sesuatu yang hidup dalam benak seseorang dan pengetahuan itu menjadi landasan bagi pembentukan identitas, serta strategi pada berbagai situasi sosial.

Kartodirdjo (1993) mengatakan, kesejarahan melekat pada wawasan sejarah. Memandang sesuatu berdasarkan wawasan sejarah berarti menyorotinya bukan sebagai keberadaan (being) tetapi sebagai sesuatu dalam proses menjadi (becoming), sehingga disini akan ditonjolkan aspek kontinuitasnya. Asumsinya adalah ada kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Namun pandangan ini berbeda dengan pahaman sejarah dari Foucault yang selalu melihat diskontinuitas (patahan) dalam sejarah. Saya pun menemukan diskontinuitas ini tatkala orang Buton selalu mengingat peristiwa kejayaan, namun di saat bersamaan hendak melupakan episode yang paling terpuruk dalam sejarahnya sendiri.

Bagi saya, kesejarahan adalah semacam parodi dari sejarah, yang di dalamnya tak ada ketepatan dalam mencatat tanggal atau tahun-tahun kemudian mengurai suatu kejadian. Jika sejarah mencatat mereka yang sudah meninggal dan menjejaknya melalui teks, maka kesejarahan justru tersimpan pada benak mereka yang masih hidup (living people) dan bisa diurai dengan dialog serta pengamatan yang detail. Dinamika politik di tahun 1969 itu dimaknai sebagai bentuk kekalahan atas kontestasi dengan sejumlah kekuatan lain seperti militer, pergolakan internal, serta para pendatang selatan. Peristiwa itu dianggap sebagai satu rantai yang menjelaskan mengapa hari ini orang Buton seakan-akan tenggelam di pusaran sejarah. Mereka memaknai kejadian itu adalah awal dari masa kelam serta nestapa yang membangkitkan pengalaman traumatik bagi mereka hingga hari ini.

BELUM SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar