Asian Idol: Sebuah Kontestasi Kebudayaan


TERNYATA pemenang kontes Asian Idol adalah peserta asal Singapura yaitu Mirzahady bin Amir (Mirza Hady). Hari ini, Senin (17/12), saya tercengang saat membaca berita bahwa Mirza berhasil mengumpulkan dukungan SMS terbanyak dan menyisihkan kandidat terkuat yaitu Mike Mohede (Indonesia) dan Jacklyn (Malaysia). Mirza Hady –pria keturunan Bugis Makassar dan Cina ini-- sukses meraih supremasi tertinggi di ajang nyanyi yang melibatkan negara Asia tersebut. Ia sanggup meraih dukungan tertinggi dari pengirim SMS yang ternyata sebagian besar di antaranya adalah warga Indonesia.

Di satu sisi, kemenangan ini menyimpan keanehan tersendiri, apalagi jika harus dilihat dengan tolok ukur kuantitatif yaitu data statistik jumlah penduduk. Bagaimana mungkin, negara sekecil Singapura yang jumlah penduduknya hanya 4,4 juta orang (Brytannica Encyclopedia, 2005), bisa mengalahkan peserta dari Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 241 juta? Mengapa warga Indonesia justru harus memilih Mirza yang berasal dari Singapura dan tidak memilih Mike Mohede asal Indonesia?

Bagi saya, asumsi kuantitatif seperti itu jelas gagal menjelaskan fakta kemenangan Mirza. Kita membutuhkan analisis lain yang kira-kira memiliki kadar ketepatan yang lebih tinggi dalam membaca realitas ini. Nah, tulisan ini akan coba menyoroti berbagai fenomena Mirza Hady dari sisi yang berbeda. Bagi saya, fenomena ini sangat menarik sebab menjelaskan bagaimana kebudayaan bisa menerobos batas struktur politik bernama negara. Pada akhirnya, negara tidak lebih dari sebuah teritori politik belaka, tidak sampai jauh menjelajah pada tingkat kebudayaan hingga mempengaruhi pilihan-pilihan seorang individu. Kata Fukuyama, negara laksana debu-debu yang bakal tersaput angin (Fukuyama 2005).

Minggu lalu, saya sempat membahas ini dengan beberapa teman di kantin Fisip UI yaitu Jaya, Mitha, Taufik, dan Dyah. Saat itu, Jaya berkomentar kalau peserta dari Indonesia pasti menang karena jumlah penduduknya besar. Demikian juga Mitha. Saya justru tidak yakin dengan itu. Alasanku peserta Indonesia yaitu Mike Mohede kurang “Indonesia.“ Ia juga tidak seganteng Delon atau merepresentasikan etnis tertentu seperti halnya Joy Tobing, si cantik dari Medan itu. Bagiku, faktor-faktor seperti itu justru sangat penting untuk memenangkan kontes nyanyi yang kriteria pemenangnya ditentukan dari perolehan jumlah SMS. Namun Mitha menjawabnya dengan kalimat, “Tapi Mike kan culun banget.“ Iya deh.... Mungkin Mitha benar.

Hari ini, teka teki siapa pemenangnya akhirnya terjawab. Kemenangan Mirza hari ini benar-benar luput dari sangkaan banyak orang termasuk Mitha. Setahuku, tak ada satupun komentator yang memprediksi kemenangannya. Apalagi, secara kualitas, Mirza tidak lebih baik jika dibandingkan dengan Mike ataupun Jacklyn.

Lantas, apa fakta-fakta yang bisa menjelaskan kemenangan Mirza? Bagiku, kemenangan itu dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, Mirza berhasil mengangkat isu dirinya adalah keturunan Bugis-Makassar, yang menjadi bagian dari sanubari dan kesadaran kolektif orang Indonesia. Kedua, pemilihan lagu yang tepat saat berada di panggung. Ketiga, performance serta sikap dan komentar Mirza saat berada di luar panggung, khususnya komentar yang simpatik di media massa.

Kita akan bahas argumentasi itu satu persatu. Isu keturunan Bugis Makassar sudah lama menjadi perhatian media kita, khususnya media lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Ternyata, Mirza tak malu-malu mengakui hal tersebut. Bisa jadi, ia sadar dan menjadikan itu sebagai strategi kultural. Saat Mirza datang ke Jakarta untuk mengikuti Asian Idol, media lokal sudah menulis dengan kalimat “Putra Bugis Ikuti Asian Idol.“ Bahkan, beberapa elite lokal Sulsel juga memberikan beragam komentar yang kesemuanya mendukung Mirza sebagai seorang putra Bugis yang akan berlaga di ajang Asian Idol ini. Saya juga dapat info dari teman di Makassar, pemenang pilkada Gubernur Sulsel yaitu Syahrul Yasin Limpo, ikut-ikutan memberikan komentar dan dukungan pada “Putra Bugis“ yang kini membela Singapura tersebut. Sebagaimana tercatat dalam penelitian Ahimsa (1997), warga Sulsel cenderung primordial dan mempertahankan identitas etnisnya di manapun ia berada, baik itu bahasa maupun adat-istiadat. Mereka terkadang berlebihan membanggakan etnisnya sehingga kerap menebar benih konflik di manapun mereka berada. Ini sangat berbeda dengan pola merantau orang Buton yang cenderung lebur ke dalam etnis mayoritas di tanah perantauan (Ahimsa 1997). Meskipun seorang warga Sulsel merantau dan empat generasi keturunannya kembali ke daerah, maka tetap diakui sebagai orang Bugis. Dalam konteks Mirza, ketika ia datang ke Jakarta untuk kontes Asian Idol, ia langsung menyebut dirinya sebagai keturunan Bugis Makassar melalui ayahnya. Ini menjadi strategi yang sungguh tepat. Dukungan kepadanya langsung mengalir karena orang melihat dirinya sebagai putra Bugis Makassar.

Itu adalah fakta pertama. Selanjutnya, Mirza sangat pandai memilih lagu yang akan dipentaskan di atas panggung. Ia memilih lagu berirama Melayu berjudul Berserah, ciptaan Taufik Batista. Ia tidak mau ikut-ikutan seperti kandidat lain yang memilih lagu-lagu barat untuk menunjukkan kualitas vokal. Dengan rendah hati ia memilih lagu Melayu karena meyakini lagu ini bisa dipahami oleh semua orang Indonesia, audience terbesar yang menyaksikan ajang tersebut. Tampaknya, ia sadar betul bahwa pemenang ajang ini bukan persoalan kualitas vokal dan kemampuan bernyanyi yang baik. Ia harus bisa menggugah empati sebagian besar penonton acara ini sehingga mengirim SMS dukungan kepadanya.

Selanjutnya, persoalan performance dan komentar. Saya beberapa kali menyaksikan komentarnya di tayangan infotainment. Bahasa Indonesianya sangat lancar --yang diakuinya sebagai pengaruh dari ayahnya yang Bugis itu. Ia beberapa kali mengatakan, hendak mencari keluarga ayahnya di Kota Makassar. Dengan cara berkomentar di media seperti ini, ia berhasil menghancurkan batasan atau image bahwa dirinya adalah orang asing yang datang ke negeri ini. Ia menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari warga Indonesia yang kemudian merantau dan sukses di negeri lain. Ia menjelma menjadi sosok Indonesia yang sukses di negeri lain hingga membersitkan kebanggaan bagi warga Indonesia. Ia seakan-akan seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tiba-tiba pulang kampung dan menjadi buah bibir karena tampak kaya. Saya kira, studi tentang perantau yang sukses ini sudah banyak dilakukan dalam literatur antropologi. Masyarakat kita masih menganggap hebat seorang perantau yang sukses. Dengan strategi kultural seperti ini, semua orang tidak berpikir bahwa dirinya adalah orang asing yang datang ke sini sambil membawa paspor negara lain. Tiba-tiba saja, image Mirza lebih “Indonesia” ketimbang Mike Mohede, yang tidak begitu dikenali asal etnisnya. Dengan memilih lagu Melayu, maka Mirza identik dengan ke-Melayu-an, sebuah kategori besar yang di dalamnya terdapat aspek bahasa, adat-istiadat serta agama. Tidak heran jika sebagian besar warga Indonesia, Singapura serta Malaysia justru lebih memilih Mirza ketimbang peserta negaranya sendiri.

Dengan pemaparan fakta ini, apa sih hikmah atau pembelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini? Pertama, studi kualitatif lebih bisa menjelaskan realitas jika digunakan dengan prosedur serta metodologis yang tepat. Kekuatannya terletak pada sejauh mana argumentasi dan narasi dibangun untuk menjelaskan sebuah realitas. Kedua, kategori etnisitas lebih punya power ketimbang negara. Kesadaran bernegara bisa bubar kapan saja, namun kesadaran etnisitas barangkali tidak akan pernah pudar. Negara bisa menggerakkan warganya dengan sejumlah alat paksa berupa tangan kekar hukum, namun tidak serta-merta menjelma menjadi kesadaran untuk membela segala sesuatu yang berbau negara. Ketika dihadapkan pilihan antara etnis dan negara, maka publik bisa memilih etnisitas. Sebab kategori etnis adalah bagian dari kebudayaan dan kesadaran bersama, sesuatu yang dekat dengan ranah kemanusiaan kita.........

(udah ah.... mau jawab soal ujian Pak Afid dulu)

17 Desember 2007, pukul 22.00

Saat pusing mikirin soal ujian Pak Afid


1 komentar:

Anonim mengatakan...

kontes idol memang suka bikin heran, terbukti beberapa penyanyi yang bagus karena kurang menonjol publikasi dibanding yang lain tersingkir di babak awal. rakyat indonesia memang terlalu menomersatukan kedaerahan. padahal kasihan si mirzanya yang nanti harus bertarung di world idol, padahal modalnya nggak cukup. salam kenal!

Posting Komentar