Ketika Biksu Menantang Senjata....


ANDAI kita ada di Myanmar. Kita akan menyaksikan ribuan biksu berjalan beriringan sambil meneriakkan pekik kebebasan. Kita akan menyaksikan sebuah parade dan ikhtiar kedamaian yang hendak terbang tinggi dan lepas bagai merpati. Di tengah terik matahari yang memanggang, biksu itu laksana lautan air bah berbaris rapi sambil mendengungkan seruan damai. Di hadapan senjata dengan laras panjang dan siap memuntahkan peluru, biksu seakan tak kenal takut dan siap meregang nyawa. Amitabha….

Sepekan ini, aku benar-benar takjub melihat keberanian para biksu itu. Mereka bergerak dengan hanya mengenakan selembar kain berwarna merah dan membelah arus utama kota Yangoon. Kepala mereka botak. Matanya menatap lurus kedepan. Ada keteduhan sekaligus keberanian memancar di situ. Keteduhan sebagaimana yang dipancarkan Siddharta Gautama, puluhan tahun silam, ketika tubuhnya membiaskan cahaya pencerahan. Keberanian sebagaimana telah dipancarkan para biksu yang banyak menjadi martir untuk sebuah jalan terang: jalan pencerahan, jalan nirwana.

Aku pernah sekali menyaksikan iring-iringan para biksu. Mereka kulihat beriringan di dekat Candi Borobudhur sebagai bentuk ritual menjelang hari Waishak. Tubuh mereka dipanggang terik matahari dan hanya berselempangkan kain merah. Mereka memegang rantai tasbih dengan batu yang berukuran lebih besar dari yang dipunyai orang Islam. Mereka berjalan sambil merapal doa tertentu dengan bibir bergetar.

Namun pemandangan di Myanmar sangatlah berbeda dengan itu. Di sana, ada keberanian serta harapan yang menjulang tinggi. Mungkin yang lain akan melihatnya sebagai perkara biasa, namun tidak bagiku. Ini bukannya Islam, yang punya tradisi pekik radikalisme serta keberanian memasang bom di tubuh kemudian meledakkannya hingga tubuh berkeping-keping demi melapangkan jalan ke surga. Ini juga bukan Kristen yang membasahi kanvas sejarah dengan kisah pertarungan yang begitu heroik demi membendung Islam di ajang Perang Salib. Baik Islam maupun Kristen sama-sama punya kisah tentang peperangan besar dan mencatat sejumlah pahlawan besar dari setiap denyut peperangan. Keduanya sama berkeyakinan kalau kematian adalah jalan terbaik untuk menggapai Tuhan yang kokoh berada di alam lain.

Tapi ini adalah Budha, yang begitu teduh dan memancarkan sorot mata penuh kasih sayang. Sejarah umat Budha adalah sejarah yang ditorehkan dengan penuh cinta kasih dan kehati-hatian. Budha adalah prototipe hidup dari manusia sempurna yang sanggup meruntuhkan bangunan hawa nafsu demi mencapai ketenangan. Amarah laksana banteng liar yang harus ditundukkan. Seiring dengan itu, sebuah jalan menuju bahagia seakan terbentang dan Sang Budha menitinya dengan penuh ketenangan.

Aku tak pernah mendengar para biksu ikut dalam berbagai peperangan besar. Paling jauh, hanyalah kisah para biksu dalam film Hongkong yang menguasai bela diri sebagaimana biksu kuil Shaolin. Tak pernah kubaca kisah para biksu yang berada di tengah gemuruh dan dentum sebuah peperangan. Jalan yang ditempuh Budha adalah jalan penuh kata damai. Aku juga tak pernah mendengar ada biksu yang mendirikan partai politik atau organisasi massa terbesar. Paling jauh hanyalah kisah Dalai Lama yang berani menentang rezim komunis di Cina demi menegaskan eksistensi Tibet sebagai kota penuh spiritualitas yang harus dikelola dengan cara berbeda. Namun, tak pernah ada episode di mana pemimpin spiritual itu mengangkat senjata dan menempuh perjuangan bersenjata. Ia tak pernah menyatakan makar atau kudeta demi menjadi pemimpin yang duduk di singgasana bagai raja. Semua jejak langkahnya adalah jejak kedamaian dan tetap dalam titian sang Budha yaitu menghindari hawa nafsu dan kekerasan.

Tak pernah pula kudengar ada biksu yang menjadi anggota dewan atas nama umat Budha. Biksu adalah mahluk yang selalu menjauhkan diri dari segala tetek-bengek politik. Bahkan tak ada biksu yang berdemonstrasi sambil mengutuk organisasi lain. Bagiku, semua biksu dan penganut Budha adalah mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mencapai ketenangan. Mereka yang berikhtiar untuk menggapai Nirwana dan hidup tenang sembari menaklukan amarah dan hawa nafsu.

Namun, biksu di Myanmar, telah membenturkanku dengan realitas kalau kesabaran para biksu itu selalu saja ada batasnya. Berada di tempat aman, namun selalu menyaksikan penindasan dan pemberangusan kebebasan, bukanlah pilihan yang menyenangkan. Jika belakangan ini para biksu berani keluar dari persemayamannya di kuil-kuil, maka tentu saja ada satu perkara besar yang harus diperjuangkan. Perkara besar itu jelas terkait dengan nasib orang banyak yang selama ini ditindas. Mereka keluar dengan damai. Melalui iring-iringan yang panjang itu, mereka hanya ingin meneriakkan pada dunia akan indahknya kebebasan. Mereka berani karena didorong oleh semangat: bahwa Budha selalu bersama setiap langkah kaki mereka......

0 komentar:

Posting Komentar