Betawi, Petasan, dan Kembang Api


AKU melewatkan Lebaran bersama dua sahabatku yaitu Adi Katak dan Bulla di kawasan Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur. Di rumah yang cukup besar dan terdiri atas dua lantai ini, kami melewatkan Lebaran dengan penuh kesederhanaan. Kami tak pernah sunyi sebab Bulla punya anak semata wayang bernama Ali, yang baru berusia satu tahun. Anak ini sedang lucu-lucunya, sehingga kami begitu bahagia mendengar celoteh kecilnya.

Sejak awal puasa hingga malam Lebaran, suasana di sekitar rumah selalu saja gaduh. Dentuman petasan dan kembang api bersahut-sahutan sehingga menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Semua warga seakan-akan berlumba-lumba membeli petasan dan kembang api, kemudian membunyikannya keras-keras di malam hari. Jika ada kembang api besar yang meluncur ke langit dan cahayanya memecah, maka semua warga langsung bertepuk tangan dan berdecak kagum. Suasana langsung heboh. Aku menyaksikan kegembiraan itu tidak cuma milik anak kecil, yang saban sore sudah mulai menunggu saat gelap sambil menenteng kembang api. Namun, kegembiraan itu justru lebih banyak dinikmati orang dewasa. Dalam catatanku, “pesta“ itu tidak hanya milik warga Utan Kayu, melainkan juga ada di semua sudut Jakarta hingga Kota Depok.

Ini fenomena yang menarik dan selalu kuperhatikan. Istri Bulla, Irma, pernah bertanya padaku, apakah petasan merupakan tradisi orang Betawi? Aku sempat termenung. Jika diamati, beberapa ritual budaya Betawi, selalu saja melibatkan bunyi yang memekakkan telinga dari petasan. Tak percaya? Datang saja di acara perkawinan atau kondangan di satu rumah. Selalu saja akan menemukan “sambutan“ berupa petasan yang dibunyikan dengan keras. Betawi identik dengan ondel-ondel dan bunyi petasan. Mungkin, dua unsur itu yang tersisa sebagai jejak kebudayaan Betawi yang perlahan-lahan mulai tersaput modernisasi.

Jika ditelusuri, petasan dan kembang api merupakan tradisi yang berakar dari kebudayaan Cina. Tradisi ini masuk dalam kebudayaan Betawi sebab dibawa oleh warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jakarta. Unsur kebudayaan Cina ini menjadi elemen utama yang menyusun rancang bangun kebudayaan Betawi. Asumsinya adalah kebudayaan Betawi tidaklah statis, melainkan selalu dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi. Betawi adalah sebuah ruang ekletisme kebudayaan. Sebuah ruang di mana semua budaya hadir dan melakukan negosiasi maupun kontestasi kekuasaan. Kebudayaan Betawi adalah potret dari sebuah diskursus yang berhasil menjadi dominan dan meminggirkan diskursus lain, atau dapat pula dikatakan lahir dari serpih-serpih dari berbagai diskursus hingga menjadi diskursus baru yang maknanya lepas dari asalnya. Itu bisa dilihat dengan mengamati fenomena kembang api dan petasan.

Sejarah mencatat: petasan dan kembang api bermula di Cina pada abad ke-11, dan selanjutnya menyebar ke jazirah Arabia pada abad ke-13, kemudian ke negara-negara Eropa. Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal, yang jika digabungkan dengan oksigen, akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Meskipun dalam perkembangannya, bubuk mesiu lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer, namun pada abad ke-17, bubuk mesiu ini mulai digunakan untuk kepentingan entertainment yang mengiringi sebuah pementasan.

Hingga kini, orang Arab menyebut kembang api sebagai Panah Cina (The China Arrow) sesuai nama asalnya. Menurut beberapa literatur Cina, bubuk mesiu pertamakali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Bahkan, mesiu sudah digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi bangsa Mongol yang dipimpin Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1279. Para sejarawan menyepakati ekspansi Mongol ini menjadi babakan penting dalam mengenalkan mesiu ke dunia Eropa melalui tangan bangsa Mongol. Saat inilah, mesiu mulai mengalami penyempurnaan hingga masuk ke Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-17.

Kembali ke kebudayaan Betawi. Rasanya, hampir pasti kalau orang Cina yang membawa tradisi ini dalam tradisi orang Betawi. Sejarah orang Cina di Batavia (nama yang diberikan oleh Belanda), sangatlah masyhur. Sejak dulu, Belanda memposisikan orang Cina memiliki kelas yang berbeda dengan pribumi. Tidak heran kalau mereka punya posisi penting dan punya akses yang lebih luas ketimbang pribumi. Mereka punya kesempatan untuk mengincar proyek besar dan memperkaya dirinya sendiri.

Dalam studi yang dibuat Leonard Blusse, hubungan Cina dan Belanda menyimpan misteri kehidupan tersendiri. Blusse mengungkapkan misteri mereka dengan istilah "persekutuan aneh". Istilah itu sebenarnya tidak sekadar menyiratkan arti harafiah hubungan-tubuh dua kelompok, melainkan adalah bagian kegagalan rencana kolonisasi Belanda. Semula politik pendudukan Batavia dengan memenuhi pemukim-pemukim kulit putih, keluarga-keluarga Belanda. Rencana ini tidak berhasil karena problem reproduksi, di mana keluarga sesama Belanda sulit membuahkan keturunan. Kegagalan bertubi-tubi itu ditebus dengan cara pendahulunya Portugis dengan perempuan pribuminya. Namun, Belanda lebih sedikit mengambil perempuan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda lebih memilih rekanan bisnis yang dekat, yaitu orang-orang Cina. Maka, terjadilah apa yang disebut sebuah "persekutuan aneh" itu.

Sayang, sejarah juga mencatat dengan penuh sedu sedan, kalau di tahun 1740, terjadi pembantaian 10.000 orang Cina yang tak berdosa di Ommelanden, daerah pinggiran/pedalaman Batavia. Korban tak berdosa itu bagian dari usaha orang-orang China membebaskan Batavia dari tirani Pemerintah Hindia Belanda. Ini tak pernah dicatat pada buku sejarah bangsa dan bahkan terlupakan dalam sejarah masyarakat Indonesia.(*)


0 komentar:

Posting Komentar